Sebuah sepeda motor besar berhenti di depan sekolah. Pengendaranya memakai helm kaca gelap dan kacamata hitam. Bergegas saya mendekatinya.
“Sekarang ya Bude?”
“Ayo Le, jawab saya sambil duduk di boncengan,”
Ya, sore itu, keponakan saya yang sedang kuliah di semester enam jurusan DKV mengajak saya untuk menghadiri pemeran karya yang di adakan di sebuah gedung di Universitas Negeri Malang.
Sumber gambar: posko memori
Pameran ini diisi karya para mahasiswa. Tujuannya adalah untuk memenuhi tugas salah satu mata kuliah mereka. Mata kuliah apa, saya lupa namanya, tapi yang jelas saya diajak ke sana untuk meliput.
Kata keponakan, tugas yang dilakukan ini harus dipublikasikan, dan begitu mendengar kata publikasi dia langsung ingat budenya.
Hobi Membaca, Menulis dan Kompasiana
Semenjak berkenalan dengan Kompasiana, hobi membaca dan menulis saya kian menjadi. Mengapa? Dengan banyak membaca tulisan teman-teman, saya semakin terpacu untuk terus menulis.
Banyak orang hebat di Kompasiana, dan dari mereka saya banyak belajar bagaimana membuat tulisan yang berisi namun tetap enak dibaca.
Seiring berjalannya waktu, menulis bukan lagi sekedar kesenangan bagi saya, tapi juga kebutuhan. Karenanya sangat tidak enak kalau beberapa hari tidak menulis.
Akibatnya setiap mengikuti event tertentu, pasti akan saya jadikan tulisan.
Sering menulis membuat saya ditarik menjadi penulis web sekolah. Tugas saya cukup datang di event sekolah, menulis lalu upload di web.
Barokah lain dari hobi menulis adalah saya jadi sering mendapat undangan dari teman untuk mengikuti event tertentu guna membuat semacam liputan. He..he…sok sok an jadi wartawan ini…
Dalam sebuah event , dokumentasi pribadi
Lalu berapa bayarnya? Tidak ada. Mendapat ucapan terima kasih, melihat yang saya buatkan tulisan merasa senang saja sudah membuat hati saya ikut senang.
Kadang saya menulis tentang rekreasi jamaah pengajian, acara jalan-jalan bersama teman-teman, acara arisan juga acara pameran seperti yang saya lakukan sore itu.
Kami terus berjalan menuju lokasi pameran. Sepanjang kiri kanan jalan dipenuhi dengan berbagai dekorasi. Hingga akhirnya sampailah kami di pintu masuk. Setelah mengisi buku tamu kami pun masuk ruang pameran.
Jalan menuju ruang pameran, dokumentasi pribadi
Keponakan saya memperkenalkan saya pada teman-temannya. Rupanya beberapa dari mereka sudah mendapat cerita tentang saya. Sekilas saya dengar ada yang berbisik. “Bude, ya?”
Keponakan saya mengiyakan.
Saya terus berkeliling. Mungkin karena tahu bahwa tujuan saya ke situ adalah untuk meliput, tiap pertanyaan yang saya ajukan selalu dijawab dengan lengkap.
Bertanya ke sana-sini membuat pembicaraan di antara kami tidak canggung lagi. Dan dengan akrab mereka memanggil saya “Bude”.
Ah ya, tulisan tentang liputan ini saya upload di Kompasiana dengan judul “Memorabilia”, Karena Ada Ribuan Kenangan di Masa Kecil
Suatu saat ketika kuliahnya hampir berakhir, keponakan saya harus mengadakan pameran lagi.
“Bude, saget liputan malih?”
“Oh, bisa Le .. kapan?”
Setelah menentukan hari dan tanggalnya, siang itu ketika jam istirahat saya dijemput dari sekolah untuk kembali meliput pameran karyanya.
Gajah Mada, Umakarta, dokumentasi pribadi
Kali ini karyanya mengangkat tema Mahapatih Gajah Mada. Jadi ceritanya ia membuat berbagai merchandise yang dikaitkan dengan kebesaran Gajah Mada sebagai tugas akhir kuliahnya.
Sama dengan liputan sebelumnya, di lokasi pameran wajah- wajah ramah menyapa saya. “Bagaimana kabarnya Bude?”
He..he… Saya membalas sapaan mereka dengan gembira. Senang sekali rasanya bertemu lagi dengan mereka. Kami berbincang sejenak, lalu saya mulai mengamati karya- karya yang dipamerkan sambil beberapa kali memotret.
Jika dihitung selama keponakan kuliah ada empat kali saya diminta meliput pamerannya. Ada yang di UM, Dewan Kesenian Malang (DKM) juga Malang Creative Centre (MCC).
Yang paling unik adalah ketika saya meliput di MCC. Mengapa? Pameran dikemas dengan gaya kekinian. Peserta pameran banyak yang mengenakan cosplay.
Bersama Naruto, dokumentasi pribadi
Saya yang tidak ikut bercosplay jadi tampak aneh. Bahkan ketika antre lift, di sekitar saya adalah Naruto dan teman-temannya.
Bukan sekedar hobi, gara- gara menulis saya mempunyai banyak kesempatan untuk mendatangi berbagai event, memotret dan menuliskannya.
Menulis membuat saya mendapatkan sebuah profesi baru, yaitu ‘wartawan’. Wartawan yang siap membantu publikasi bagi keponakan jika memerlukan.
tetap menyatu, dalam hasrat dan tujuanku selalu (reff. lagu Gemilang by Krakatau)
“Gemilang” adalah single yang dinyanyikan oleh grup musik Indonesia, Krakatau. Lagu ini diciptakan oleh Dwiki Dharmawan, pemain keyboard dari band tersebut. Dengan lirik oleh Mira Lesmana.
Lagu yang menceritakan kegemilangan dan memberi semangat dalam memecahkan masalah dengan jiwa remaja tersebut dirilis pada tahun 1987. Suara centil dari Trie Utami membuat lagu ini terasa sedap untuk dinikmati.
Pada tahun 2010, Andien membawakan kembali lagu “Gemilang” dengan aransemen oleh Nikita Dompas
Dari Wikipedia, lagu ini pernah mendapat ulasan positif dari Rolling Stone Indonesia yang menempatkan lagu ini sebagai peringkat ke-62 lagu berbahasa Indonesia terbaik sepanjang masa.
Rolling Stone Indonesia adalah majalah musik Indonesia yang diadopsi dari franchise terbitan Amerika Serikat.
Krakatau, sumber gambar: Kumparan
Dalam perjalanan musiknya Krakatau memiliki dua single yaitu Gemilang dan La Samba Primadona yang keduanya dirilis tahun 1987. Dua-duanya enak dinikmati, tapi lagu “Gemilang” adalah one hit wonder membawa cerita tersendiri bagi saya.
Lagu “Gemilang” sangat terkenal di kala saya masih duduk di SMA. Hampir tiap hari kami bisa mendengar lagu ini lewat radio. Kala itu kami sering berkirim lagu lewat beberapa stasiun radio, seperti TT 77 atau KDS 8, dan “Gemilang” adalah lagu yang sering direquest.
Mendengarkan lagu ini membuat saya kembali teringat pada masa di mana kami bersemangat untuk mencari ilmu, dengan bumbu keakraban dan kekonyolan bersama teman-teman. Ya, judul syair lagu ini adalah gambaran jiwa kami yang penuh semangat untuk menuju masa depan yang lebih gemilang.
Lagu ini mengingatkan saya pada seorang sahabat, teman sekelas saat SMA. Sebuah pertemanan yang akhirnya membuat saya menjadi guru matematika. Bagaimana bisa?
Nah, begini ceritanya..
SMA Tugu, sumber gambar: Malang Surya
Teman saya ini sebutlah namanya Anna, orangnya ‘rame’, hampir sama dengan saya. Karena punya ‘frekuensi’ yang hampir sama, di kelas satu SMA kami langsung kenal dan akrab.
Anna punya teman yang jauh lebih banyak dari saya. Belum satu bulan di SMA, temannya sudah ada di mana-mana, termasuk di kelas lain.
Meski ‘rame’ kami punya komitmen sama yaitu tidak main- main saat pelajaran. Kami sama-sama suka IPA dan Bahasa Inggris dan olah raga. Bedanya jika saya suka fisika dan Kimia, Anna lebih suka biologi. Karenanya di kelas dua kami terpisah karena saya memilih jurusan A1 (ilmu fisika) dan Anna memilih A2 ( ilmu biologi).
Bagaimana dengan matematika? Kami bisa matematika, tapi kurang begitu suka. Mungkin karena materi kelas satu SMA hampir sama dengan SMP, jadi kurang menantang sepertinya.
Lucunya saat itu kami juga punya kakak idola yang sama. Maksudnya naksir orang yang sama, yaitu kakak kelas yang pintar berorganisasi sekaligus menonjol dalam mata pelajaran. Kalau kata kami saat itu wajahnya mirip Iwan Fals. He..he…
Tapi begitulah naksir kami tak pernah serius. Sekedar suka pokoknya.
Kakak idola kami ini ada di kelas 3 IPA 5 yang kelasnya di tingkat atas, sementara kami yang masih kelas 1 menempati kelas bawah.
Zaman itu kelas tiga masuk jam tujuh pagi, dan kelas satu masuk jam dua belas. Jadi kelasnya bergantian.
Demi bertemu idola kami ( tepatnya melihat) kami rela datang jam setengah dua belas dan pura-pura baca mading di bawah tangga untuk menunggu Sang Idola lewat.
Begitu dia lewat, kamipun saling bisik-bisik,”Itu tuh anaknya..,” Sang Idola terus berjalan. Entah tahu atau pura-pura tidak tahu dengan keributan kami. Duuh..
Jika dia sudah lewat, kami segera kembali ke kelas. Urusan selesai. Ingin kenal lebih jauh dengan Sang Idola? Tidak juga. Bahkan sampai luluspun kami tidak pernah bicara dengan idola kami itu. Ha..ha…
Karena punya koneksi dengan sekolah sebelah lumayan banyak, Anna selalu tahu sekolah sebelah mengadakan acara apa.
Ah ya, saya bersekolah di SMA Tugu. Ada tiga sekolah di situ. Dan aula yang posisinya di tengah dipakai ketiga sekolah secara bergantian.
Suatu saat terjadilah sebuah peristiwa yang membuat saya menjadi ‘pecinta’ matematika.
Ketika itu dalam sebuah jam pelajaran matematika, sesudah diterangkan kami diberi tugas oleh ibu guru kami. Lima belas soal.
Ya, guru zaman dulu kalau memberi tugas memang buanyak. Tujuannya jelas, supaya kami terbiasa mengerjakan soal dalam berbagai model.
Dalam waktu satu jam pelajaran (45 menit) seluruh soal selesai kami kerjakan. Sementara teman- teman masih sibuk berkutat dengan pekerjaan mereka.
Waduh, waktu masih kurang 45 menit lagi. Sama-sama ‘gabut’ istilah anak sekarang, Anna berbisik pada saya. “Di aula ada mode show.. , lihat yuk..,” ajaknya. Mode show adalah istilah untuk fashion kala itu.
Sejenak saya terdiam. Ada perang dalam hati saya. Perang antara bisikan syaitan dan malaikat. Bisikan syaitan mengajak saya ke aula mengikuti ajakan Anna, malaikat memaksa saya bersabar sejenak menunggu saat pembahasan soal tiba.
Saya melihat ke arah Bu Guru matematika yang sedang asyik mengerjakan sesuatu. Hati saya terus berperang. Celakanya yang menang adalah si syaitan.
” Apik ya…,” bisik saya pada Anna.
“Yo mesti ta..,” bisiknya lagi sambil tersenyum.
Anna menuliskan sesuatu di kertas lalu diberikan pada saya. Suasana kelas masih sepi, semua sibuk mengerjakan tugas.
“Aku izin ke kamar mandi, susul dalam waktu dua menit,” katanya di kertas.
Tanpa menunggu jawaban saya Anna pun izin ke kamar mandi. Dua menit berselang saya ikut-ikutan izin. Ibu guru matematika mengangguk sambil meneruskan pekerjaannya.
Jarak dari kamar mandi putri ke aula lumayan jauh. Tapi demi tekad yang membara untuk melihat mode show kami terus berjalan ke sana.
Suasana aula tampak demikian meriah. Beberapa model berjalan di panggung dengan iringan musik yang menghentak penuh semangat.
Wajah -wajah ayu tampak di mana-mana. Mereka melenggak lenggok memperagakan busana yang demikian cantik. Busana kertas. Amazing. Kertas bisa disulap menjadi baju seindah itu. Kami begitu terkesima dibuatnya. Benar kata Anna. Acaranya memang apik.
Terlalu asyik melihat peragaan busana, tak terasa sudah hampir satu jam pelajaran kami berdiri di situ.
“Ayo balik kelas.., dicari Bu guru nanti,” ajak saya panik demi melihat jam aula sudah menunjukkan pukul setengah dua, berarti sepuluh menit lagi bel istirahat berbunyi.
Anna ikut kaget. Bergegas kami kembali ke kelas. Dan alamak… Bu guru matematika sudah siap di depan pintu kelas menunggu kedatangan kami.
“Dari mana?” tanya beliau tidak ramah.
Kami menunduk. Sungguh, sebengal apapun kami tidak bisa berbohong di depan guru kami.
Dengan jujur kamipun berkata bahwa kami keterusan melihat mode show di aula.
Bu Tutik, guru kami kembali bertanya, “Pekerjaan kalian sudah selesai?”
“Sudah, Bu,” jawab kami cepat.
Bu Tutik mengangguk. Apakah jawaban tersebut membuat posisi kami jadi aman? Tidak.., karena sebagai hukumannya kami berdua harus mengerjakan ke lima belas soal di papan tulis nanti di pertemuan berikutnya.
“Kalau ada pertanyaan dari temanmu, kalian yang menjawab,” kata Bu Tutik sambil meninggalkan kami.
Saya sungguh tak menyangka itulah tonggak pertama saya mulai tekun bermatematika. Sebelumnya saya bisa matematika, tapi untuk diri saya sendiri. Tapi karena diultimatum seperti itu maka sebelum pelajaran matematika saya harus punya persiapan lebih.
Akhirnya buku pekerjaan matematika saya menjadi begitu lengkap. Saya selalu siap menerangkan sewaktu-waktu ada pertanyaan. Teman- teman yang mengalami kesulitanpun banyak yang minta diterangkan, bahkan sampai datang ke rumah.
Sebuah hukuman yang manis, hingga akhirnya selepas SMA saya kuliah di IKIP jurusan matematika.
“Kamu jadi guru matematika saja, kalau menerangkan enak,” kata teman-teman ketika kami memilih jurusan. Biyuh…
Tahun demi tahun berlalu hingga saya menjadi guru dan Anna sukses dengan bisnisnya di luar pulau. Sesekali kami bertemu saat reuni, dan beberapa kali berwhatsapp.
Beberapa tahun yang lalu ia mengirim sebuah pesan yang sangat mengejutkan.
“Cikgu, terima kasih ya, anakku sudah diajar matematika,” katanya.
Saya sedikit bingung. Ini tidak pernah ketemu ibuknya kok tiba-tiba mengatakan anaknya saya ajar?
“Anak yang mana?” tanya saya.
Sambil menyebut nama seorang siswa, Anna berkata, “Dia anakku, kemarin baru lulus dari SMP, matematikanya kamu yang ngajar, sengaja gak tak kasih tahu.. aku pingin tahu kamu ngajarnya bagaimana..ha..ha.., “
Oalah, Anna… Sungguh kamu tetap seperti yang dulu.., pikir saya gemas.
Krakatau, sumber gambar: SpundCloud
Sampai sekarang setiap kali melewati SMA Tugu, saya selalu teringat cerita masa-masa itu. Masa SMA ketika kita punya begitu banyak mimpi. Masa yang begitu lucu, konyol tapi tetap memicu kita untuk meraih masa depan yang lebih gemilang.
“Kutunggu depan perpustakaan umum ya…,” Sebuah pesan masuk WhatsApp saya pagi itu. Dari seorang teman SD. Aha, pagi ini kami memang berjanji untuk jalan-jalan di Car Free Day Jl. Ijen Malang.
Sepeda motor saya langsung melaju menembus dinginnya Kota Malang. Di sepanjang jalan Kawi juga jalan Gelanggang sudah banyak orang berolahraga ringan.
Banyak pejalan kaki di CFD, dokumentasi pribadi
Suasana Jl. Ijen begitu ramai. Ada yang berjalan sendiri, tapi lebih banyak yang jalan bareng teman atau keluarga. Selain berjalan, banyak pula yang bersepeda, senam, berkumpul bersama komunitas ataupun sekedar duduk-duduk di tepi jalan.
Sesuai namanya yaitu Car Free day, tidak ada satupun kendaraan bermotor yang melintas. Kalaupun ada kendaraan, itu adalah sepeda pancal atau sepeda listrik. Tapi tidak begitu banyak.
Di area parkir, dokumentasi pribadi
Karenanya hawa terasa begitu segar. Lain sekali dengan suasana Jl Ijen di hari biasa yang selalu dipadati kendaraan yang lalu lalang.
Saya terus berjalan menuju tempat senam, tepatnya di depan perpustakaan umum. Pengunjung sudah begitu banyak. Ada panggung kecil yang didirikan tepat di pertigaan Jl Ijen dan Semeru untuk tempat para pemandu.
Senam dengan iringan lagu campur sari, dokumentasi pribadi
Tak berapa lama iringan musikpun berkumandang. Lagunya? Campur sari!
Ada lagu Didi Kempot, Niken Salindri, Via Vallen dan banyak lagi.
Kami bergerak mengikuti para pemandu. Gerakan senam semi bergoyang.. he..he.. gayeng sekali.
Ketika irama campur sari berganti dengan lagu lain yang lebih menghentak, satu persatu di antara kami mulai keteteran.
“Jalan-jalan saja yuk.., ” ajak saya pada teman teman.
“Iya, jalan-jalan saja,” kata yang lain. Semua sudah ngos-ngosan mengikuti senam aerobik yang baru saja dimulai.
Penjual balon, dokumentasi pribadi
Kamipun berjalan-jalan sambil ngobrol sepanjang Jalan Ijen dan sekitar Dempo.
CFD benar- benar bagai magnet bagi warga Malang. Di sepanjang jalan yang kami lalui tampak berbagai macam aktivitas. Ada yang berjualan makanan, mainan, promosi event tertentu, bertemu teman lama dan banyak lagi.
Dinosaurus, tempat yang diserbu anak anak, dokumentasi pribadi
CFD juga merupakan sarana hiburan yang murah bagi anak-anak kecil. Ada tempat menyewa kendaraan scooter, naik dokar, belajar menggambar, memancing ikan dan berbagai permainan yang lain.
Setelah berjalan-jalan, kami memasuki area museum Brawijaya yang setiap hari Minggu digunakan para pedagang untuk berjualan. Di sepanjang jalan masuk museum banyak pedagang makanan, asesoris, baju atau barang yang lain.
Duduk-duduk di CFD, dokumentasi pribadi
Khasnya emak-emak jalan-jalan kurang lengkap rasanya tanpa belanja. Dari melihat-lihat akhirnya ada beberapa barang yang kami beli.
Membeli bumbu rentengan, dokumentasi pribadi
Ya, pagi hari di CFD bukan sekedar jalan-jalan ataupun bertemu teman. Buktinya pagi itu kami mendapatkan bros, aneka bumbu rentengan berupa kemiri, merica, bawang, makaroni, ebi, bahkan kami juga membeli penambal panci. He..he… Lengkap pokoknya.
Mbak Sur menuju rumah dengan wajah ceria. Kupon berwarna hijau muda dikipas- kipaskannya. Sesekali senandung kecil mengiringi langkah kakinya.
Berkali- kali dipandanginya kertas seukuran kartu pos itu.
Matanya berbinar-binar membaca tulisan di bagian belakangnya. Betapa tidak? Hidup lagi sulit-sulitnya tiba-tiba ada pembagian kupon untuk paket sembako gratis.
Tidak main-main. Isi per paket adalah beras lima kilo, gula satu kilo dan minyak dua liter. Gratis. Sekali lagi gratis. Siapa yang tidak kepingin?
Kalau ditotal harga satu paket tersebut kira kira 125.000. Wow, betapa baik hati orang yang membagi- bagi paket ini.
Sembako, sumber gambar: merdeka.com
“Eits.., jangan ndlereng..,” kata Mbak Ipah yang hampir bertabrakan di gang. Keduanya kebetulan berpapasan.
“Aduh, sepurane.., ” kata Mbak Sur malu.
“Dari Pak Rahmat juga?” tanya Mbak Sur demi melihat Mbak Ipah membawa kupon yang sama
Mbak Ipah tersenyum lebar.
“Ya iyalah…,” katanya ringan.
“Alhamdulillah, dapat gratisan.. pas garapan bapaknya sepi,” lanjut Mbak Ipah.
Mas Parno, suami Mbak Ipah adalah tukang talang. Di musim kemarau seperti ini garapan talang sepi. Tentu saja, tidak ada hujan berarti tidak ada masalah talang bocor dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya.
“Sama…, pesenan jajanku ya sedang sepi .., mungkin karena tahun ajaran baru, orang butuh seragam, tidak butuh jajan,” timpal Mbak Sur. Keduanya tertawa.
“Eh, ngomong-ngomong sumbangan ini dari mana ya?” tanya Mbak Ipah.
Mbak Sur memandang teman bicaranya dengan heran. “Lha tadi kan diterangkan Mbak Wati?” Jawabnya.
“Iya, pas diterangkan tadi Cenik menangis, terpaksa kutinggal keluar sebentar, beli jajan buat Si Cenik,” jawab Mbak Ipah. Cenik adalah anak Mbak Ipah yang paling kecil. Balita berumur satu tahun itu selalu ikut ke mana saja ibunya pergi.
“Oalah, ceritanya Pak Bejo kan mau nyalon lagi,” jawab Mbak Sur lagi.
“Pak Bejo lurah kita? Mau nyalon lagi?”
“Iya.., istilahnya sekarang beliau petahana begitu,” jawab Mbak Sur meyakinkan.
“Ooh, lha ini untuk apa?” tanya Mbak Ipah sambil menunjukkan kuponnya. Polos.
“Halah…., ya biasa lah..,” kata Mbak Sur sambil tersenyum kecil.
“Kaum ‘Golek lemah‘ seperti kita kan selalu diingat pas ada pergantian lurah,”
“Golek lemah?” tanya Mbak Ipah tidak mengerti.
Setengah tertawa Mbak Sur menjawab, “Golongan Ekonomi lemah,”
Mbak Ipah ikut tertawa.
“Alhamdulillah.., rapopo.., rezeki jangan ditolak..,” kata Mbak Ipah yang disambung derai tawa keduanya.
***
Pagi yang cerah. Sebuah tenda terpal didirikan di depan rumah Pak Bejo. Beberapa kursi sofa diletakkan di depan sementara di belakang deretan kursi plastik sudah berjajar rapi.
Hidangan pala pendem diletakkan dalam piring-piring dan tak ketinggalan minuman dalam kemasan tertata rapi di dekatnya.
Pak Rahmat ketua RT 20 sekaligus orang kepercayaan Pak Bejo sibuk mondar-mandir memberikan briefing ke sana- sini.
Alunan musik campur sari membuat suasana semakin gayeng. Satu demi satu tamu-tamu mulai hadir. Tamu hari itu adalah seluruh warga desa ‘Makmur Selalu’.
Semakin siang tamu yang datang semakin banyak. Pak Bejo duduk di depan ditemani istri tercinta.
Bu Bejo yang demikian gandes luwes melemparkan senyum pada para hadirin. Dasar orangnya ayu, batik hijau yang dikenakan sarimbit dengan sang suami membuat penampilannya makin ayu.
Beberapa warga terutama kaum wanita menatap Bu Bejo dengan kagum bahkan sedikit iri. Duh..
“Monggo, ayo duduk,” kata Bu Bejo ketika Mbak Sur dan Mbak Ipah datang. Mereka segera duduk di tempat yang ditentukan. Di sana sudah ada sekitar lima belas orang warga yang rupanya mendapat tempat khusus.
“Lho..,, Pak No,” kata Mbak Sur sambil duduk di sebelah Pak No. Jika ada pemberian sumbangan, Mbak Sur, Pak No dan Mbak Ipah selalu masuk dalam daftar penerima nya. Mereka warga RT 20.
“Inggih, Mbak Sur.., ambil rezeki,” kata Pak No sambil tertawa
Pandangan mata tamu langsung terfokus pada pembawa acara yang mulai membacakan susunan acara hari itu.
Singkat kata hari itu adalah syukuran ulang tahun Pak Bejo, sekaligus beliau meminta doa restu pada yang hadir karena akan mencalonkan diri lagi saat pemilihan lurah sebentar lagi.
Hadirin bertepuk tangan. Apalagi saat Pak Bejo membawakan pidatonya dengan santun dan teduh. Intinya marilah memilih pemimpin yang berpengalaman sekaligus peka pada kebutuhan warga.
“Hidup Pak Bejo..!” teriak yang hadir. Ya, untuk apa memilih orang yang tidak peka pada kebutuhan warganya? Harusnya tiap pemimpin mempunyai kepekaan dan empati bukan?
Hadirin semakin semangat sekaligus terharu tatkala Pak Bejo mengatakan bahwa pemberian sumbangan sembako pada warga yang kurang mampu adalah wujud empati dan kasih sayang seorang pemimpin pada warga yang dipimpinnya.
“Dan kasih sayang lah yang membuat hidup kita lestari dan penuh harmoni,” kata Pak Bejo di akhir pidatonya.
Suasana haru makin menyergap.
“Hidup Pak Bejo!”
Suara Pak Rakhmat langsung diikuti yang lain.
“Hidup Pak Bejo!”
Tak mau kalah, dengan menjinjing tas berisi paket sembako di tangan kiri, tangan kanan Mbak Sur mengepal ke atas.
“Supaya tetap ‘bejo’, kita harus pilih Pak Bejo!” teriaknya.
Sejenak hadirin terpesona dengan pilihan kata Mbak Sur. Dan tak lama kemudian mereka membalas dengan teriakan, “Pilih Pak Bejo!”
Suasana semakin hangat. Musik mengalun tiada henti. Berbagai jenis hidangan disediakan. Soto, rawon, pecel juga rujak. Dua hidangan yang terakhir untuk mereka yang mulai ada masalah dengan kolesterol.
“Ayo tambah, ” kata Pak Rahmat ramah.
Pak Min segera menuju ke stand pecel. Ini piring kedua setelah tadi ia menikmati rawon.
Pak Rahmat lari ke belakang sebentar karena tadi dijawil oleh Bu Bejo.
“Inggih Bu?” kata Pak Rakhmat sesampai mereka di dekat dapur.
“Semua sudah beres to? Pesan bapak apa tadi?”
“Oh, sampun… Beres, semua sudah dibayar, termasuk tenda, catering juga timses,” kata Pak Rahmat senang.
Bu Bejo tersenyum lega.
“Kekurangannya?”
“Pokoknya beres Bu, pakai jimpitan warga dulu, dana ‘lain-lain’ juga dipakai..,” bisiknya.
Bu Bejo tersenyum senang. Musik terus mengalun , makanan terus dihidangkan , semua gayeng, semua seneng.
Sesekali kembali terdengar teriakan,”Hidup Pak Bejo!”
*********
Tulisan ini diikutkan dalam sayembara cerpen Pulpen Kompasiana xvi
Tentang penulis: Yuli Anita, guru matematika yang sedang belajar menulis cerpen.
Kami Pramuka Indonesia Manusia Pancasila Satyaku ku darmakan Darmaku kubaktikan.. (Hymne Pramuka)
Pagi terasa begitu segar. Lapangan volley sejak tadi sudah dipenuhi siswa yang berkegiatan. Dengan seragam Pramuka, hasduk dan topi mereka begitu bersemangat mengikuti komando dari ketua regu. Setiap siswa tampak membawa dua bendera kecil berwarna merah dan kuning.
Semaphore, dokumentasi pribadi
Bendera digerak-gerakkan sesuai dengan bunyi pesan yang hendak disampaikan. Suasana demikian menyenangkan. Ramai, namun semua tetap serius memperhatikan arahan ketua regu dengan gerakan benderanya.
Latihan semaphore, dokumentasi pribadi
Ya, pagi itu para siswa sedang melakukan kegiatan semaphore, sebuah acara dari kegiatan Aktualisasi Pramuka.
Apakah Aktualisasi Pramuka itu?
Pengarahan sebelum kegiatan dilakukan, dokumentasi pribadi
Dari situs Kemdikbud diperoleh keterangan bahwa sebagai kegiatan ekstrakurikuler yang wajib ada di sekolah, Pramuka bisa dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu kegiatan Pramuka Reguler, Aktualisasi Pramuka dan Pramuka Blok.
Pelatih dan dewan galang, dokumentasi pribadi
Pramuka reguler adalah kegiatan Pramuka yang bersifat sukarela dan diadakan di gugus depan.
Pramuka blok adalah kegiatan Pramuka yang dilaksanakan setahun sekali dalam bentuk perkemahan dan dilakukan penilaian umum.
Sedangkan aktualisasi Pramuka adalah kegiatan wajib dalam bentuk penerapan sikap dan keterampilan yang dipelajari didalam kelas yang dilaksanakan dalam kegiatan Kepramukaan secara rutin, terjadwal, dan diberikan penilaian formal.
Bongkar Pasang tenda salah satu aktivitas aktualisasi Pramuka, dokumentasi pribadi
Kegiatan aktualisasi Pramuka yang dilaksanakan sekolah dalam tiga hari ini dilaksanakan oleh kelas delapan sementara kelas tujuh melaksanakan MPLS dan kelas sembilan mendapatkan materi penguatan pendidikan karakter.
Jelang apel pembukaan, dokumentasi pribadi
Pembukaan Aktualisasi Pramuka dilakukan oleh Ibu Kepala Sekolah pada hari Senin (15/7) pagi. Sesudah pembukaan siswa melaksanakan berbagai kegiatan, dalam wujud pemberian materi dan mengerjakan tugas tertentu untuk kemudian dilakukan penilaian.
PBB, dokumentasi pribadi
Materi juga kegiatan yang dilakukan siswa meliputi PBB tongkat, bongkar pasang tenda dome, Morse dan semaphore. Adapun pemberi materi adalah dari dewan Galang juga pelatih Pramuka.
Siswa tampak begitu bersemangat. Setiap kegiatan dilakukan dengan antusias mulai dari hari pertama hingga hari ketiga.
Salam Pramuka, dokumentasi pribadi
Seperti yang diungkapkan Kak Evi, diharapkan lewat kegiatan ini siswa bisa menjadi lebih mandiri, mampu bekerja sama dan bersosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat.