Karya : Maulidya Hanifah

“Apakah kau tahu, bahwa sunyi pun bisa berbicara?” tanya lelaki itu, dengan suara setenang kabut yang menggantung di pucuk-pucuk pinus, di pagi yang belum sepenuhnya bangun dari lelapnya. 

Ia berdiri di balik jendela berbingkai kayu mahoni, tangannya bersedekap, sementara matanya menembus tirai hujan yang jatuh tanpa jeda, menyulam simfoni lembut di atas atap seng rumah tua itu.

Perempuan itu, yang duduk di kursi rotan berkeriut halus, hanya menatap cangkir teh di genggamannya. Uapnya melayang, berputar-putar seperti kenangan yang enggan luruh, menggulung dalam pusaran waktu yang rapuh.

“Kau tak perlu menjawab,” lanjut lelaki itu, bibirnya nyaris tak bergerak, seolah kata-kata itu keluar langsung dari dinding dadanya. 

“Karena aku tahu, kau telah lama memahami: bahwa suara paling jujur tak lahir dari mulut, tetapi dari jeda antara dua tarikan napas.”

Dan diam pun turun, lebih dalam dari pekat hujan yang merintik. Diam yang memekakkan; diam yang sarat; diam yang menggema dalam ruang-ruang batin, seperti gema lonceng tua di gereja yang terlupa.

Tiba-tiba, suara jam berdentang tiga kali: dang, dang, dang. Seperti aba-aba dari masa lalu yang tak ingin terlupakan. Lalu, ia melangkah pelan, sepatu kulitnya mengeluarkan bunyi berderak—membelah hening seperti pisau mengiris kain beludru.

“Kau tahu,” katanya lagi, kini menatap bayangan wajahnya sendiri di jendela, yang tersamar oleh gerimis dan waktu, “kita ini hanya tokoh-tokoh dalam bab yang ditulis oleh perasaan. Bukan logika. Maka, jangan salahkan aku bila jalan yang kupilih tak bisa kau terima, sebab aku berjalan bukan dengan kepala, tetapi dengan luka.”

Perempuan itu mengangkat wajahnya. Wajah yang dulu sering kau sebut sebagai pelabuhan, kini hanya pulau terpencil yang dilupakan peta. Suaranya serak, namun tak lelah:

“Luka pun bisa salah jalan, bila ia dipandu dendam.”

Lelaki itu tertawa kecil. Tapi tawa itu lebih mirip cicit engsel pintu yang lama tak dibuka—kering, berat, dan menyakitkan.

“Barangkali. Tapi, bukankah setiap luka juga mengandung arah? Bukankah darah selalu mengalir ke hilir, bukan ke hulu?”

Di luar, angin menderu. Sehelai daun jatuh, menari dalam pusaran takdirnya. Hujan belum reda, tetapi cerita telah mulai meluber dari dinding-dinding kamar.

Mereka berdua berdiri dalam sunyi, di bawah tirai hujan yang tak juga menepi, dalam jeda yang lebih panjang dari kalimat mana pun yang sempat mereka ucapkan.

Dan ketika pintu itu akhirnya terbuka, bukan kata-kata yang keluar, melainkan aroma tanah basah yang telah menunggu sejak awal: menanti siapa pun yang cukup berani untuk pulang tanpa penjelasan.

Dan bumi terus berputar, meski hati manusia terhenti di satu titik kenangan. Di kamar tua itu, yang warnanya tak lagi bisa dikenali apakah kelabu atau hanya terkena bias waktu, lelaki itu melangkah ke rak tua, menarik sebuah kotak kayu yang penuh debu.

“Ini milik Ayahku,” gumamnya. “Dulu, setiap kali hujan datang, ia selalu membukanya. Katanya, hujan membawa roh-roh masa lalu pulang.”

Perempuan itu mengangkat alisnya. “Roh-roh?”

Ia mengangguk. “Bukan dalam arti supranatural. Tapi roh kenangan—arwah yang terbuat dari tawa yang tak selesai, tangis yang tertahan, dan kalimat yang tak pernah sempat diucapkan.”

Ia membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya, ada tumpukan kertas—surat-surat, puisi, potongan koran, dan sebuah pita rekaman kecil. Satu per satu dibacanya, suaranya rendah, serak, dan seperti membaca doa bagi masa silam:

Aku mencintaimu seperti laut mencintai karang: tak pernah menjanjikan tenang, tapi selalu pulang.”

Bila kelak kau tak temukan aku dalam doa-doamu, percayalah, aku tersesat dalam doaku sendiri.”

Kita ini seperti dua titik koma yang dipaksa berhenti menjadi titik.”

Perempuan itu tak tahan lagi. Ia bangkit, melangkah ke arah jendela yang basah, dan bersandar di sisinya.

“Kenapa kau simpan semua ini?”

“Karena aku tak pernah tahu cara melupakan tanpa harus membunuh bagian diriku sendiri.”

Di luar, petir menyambar, cahaya sesaat memperlihatkan wajah mereka berdua—yang tak lagi sama seperti saat dulu bertemu. Ada kerutan baru, ada cahaya yang padam, dan ada tatapan yang tak bisa diartikan selain dengan kesepian.

“Aku pernah percaya, bahwa semua yang patah akan tumbuh kembali,” kata perempuan itu. “Tapi kadang, yang tumbuh hanya bayang-bayangnya saja.”

Lelaki itu tersenyum getir. Ia duduk kembali, memeluk kotak kayu itu seperti seorang anak kecil memeluk kenangan ibunya.

Tentang penulis:

Dokumentasi pribadi Mauli

Maulidya Hanifah adalah siswi kelas 9 di SMPN 3 Malang. Ia aktif dalam organisasi OSIS dan menjabat sebagai Wakil Ketua BDI. Maulidya juga menjadi bagian dari tim kader literasi sekolah, tak heran membuat ia sering terlihat di Perpustakaan Bintaraloka.

Latest posts by Kontributor Luar (see all)

Leave a Comment

Your email address will not be published.

0 views