Cerpen ini dibuat untuk partisipasi dalam lomba cerpen anak Pulpen
Axel menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sungguh, ia tak berani menatap mata Bu Inggrid. Guru matematika sekaligus wali kelasnya.
Bu Inggrid yang biasanya ramah dan hangat pada Axel sekarang begitu marah. Tanpa berkata-kata memang. Tapi tatapan Bu Inggrid sudah cukup mengungkapkan semuanya.
Sebuah kertas putih disodorkan oleh Bu Inggrid. Kertas HVS ukuran A4 dengan tulisan tangan dan tanda tangan. Di situ tertera namanya.
Di bagian atas tertulis tanggal pembuatan surat itu. Ya, baru seminggu yang lalu surat itu dibuat Axel karena melanggar peraturan sekolah, dan kini ia membuat pelanggaran lagi yang sejenis.
Axel sebenarnya bukan anak yang bodoh. Pintar bahkan. Nilai nilainya selalu di atas KKM sekolah yaitu 80. Dalam setiap pembelajaran Axel selalu banyak menjawab. Bahkan menurut para guru ia. Adalah anak yang paling cepat daya tangkapnya.
Karena keistimewaan ini pada saat perayaan hardiknas kemarin ia dipercaya mewakili kelasnya dalam lomba cerdas cermat antar kelas, dan menang. Sungguh, Axel sebenarnya kebanggan Bu Inggrid. Karena itu pelanggaran yang dibuatnya benar-benar membuat Bu Inggrid kecewa.
Sebenarnya apa pelanggaran yang dibuat Axel? Tidak mengerjakan PR. Ya, hanya karena tidak mengerjakan PR ia dianggap melanggar. Sepele sekali. Bukankah setiap ia ditanya tentang pelajaran matematika ia selalu bisa menjawab? pikir Axel.
Terdengar helaan nafas Bu Inggrid. Axel merasa benar- benar tersiksa dengan diamnya Bu Inggrid.
“Kenapa tidak mengerjakan PR lagi?” tanya Bu Inggrid dingin.
Axel merasakan jantungnya berdebar-debar. Tangannya dingin.
“Ma maaf, Bu…, saya sore sudah ketiduran,” jawabnya bohong.
“Tidur jam berapa?” tanya Bu Inggrid lagi.
“Ha..habis Isyak Bu, badan saya demam dan ibuk memberi saya obat yang membuat saya mengantuk,” jawab Axel terbata-bata.
Duuuh, bohong lagi, keluhnya dalam hati.
Tiba tiba terbayang dalam benaknya, semalam ia tidur pukul dua belas malam. Mabar dengan Akmal membuatnya lupa jam tidur. Bahkan peringatan dari ibuk pun ia anggap angin lalu.
“Tulis lagi janjimu di situ, ingat, ini peringatan kedua,” sambung Bu Inggrid sambil menyodorkan sebuah bolpoin.
Peringatan kedua. Ini tidak main-main! Jika sampai ada pelanggaran lagi, ia akan mendapat peringatan ketiga, dan itu berarti ayah atau ibuknya akan dipanggil ke sekolah untuk membicarakan kenakalannya. Duh..
***
Matahari kali ini terasa begitu panas menyengat. Axel segera meletakkan tas dan meraih gelas untuk mengambil air putih dari dispenser.
“Sudah pulang, Le?”
“Iya, Buk, panas sekali rasanya,” jawab Axel sambil meminum air putih yang habis dalam tiga tegukan. Alhamdulillah, segar sekali rasanya.
” Ayo makan dulu, habis itu Dhuhuran,” kata Ibuk sambil membuka tudung saji. Hmm, sayur asem, tempe, tahu, sambal dan ikan asin membuat cacing-cacing di perutnya menari nari.
Tanpa disuruh dua kali Axel segera duduk dan mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi.
“Masakan ibuk memang top, ” kata Axel sambil mengacungkan jempolnya. Lezatnya masakan ibuk membuat Axel lupa dengan peristiwa di sekolah tadi pagi.
“Le, habis makan segera ke Bapak, tadi beliau pesan kamu harus ke pasar ambil sawi,” kata Ibuk sambil menuju dapur mencuci piring piring kotor.
Bapak Axel adalah pedagang pangsit terkenal di kampung. Banyak orang suka dengan pangsit ayam Pak Marno, bapak Axel. Harganya murah tapi rasanya sangat sedap.
“Ke Pasar Mergan?” tanya Axel segan. Aduh, panas panas begini, Axel merasa ngantuk sekali. Apalagi semalam ia kurang tidur.
“Iya Le, hari ini ada pesanan pangsit, agak banyak untuk pertemuan di Balai RW. Tadi Pak RT ke sini,”
Axel segera beranjak. Setelah mengambil wudhu dan sholat, direbahkan tubuhnya di kamar tengah. Suara detik jam berpadu dengan semilir angin dari jendela tiba- tiba membuat metanya terasa ngantuk. Tidak dihiraukannya Pussy yang bergelung manja di dekatnya. Sayup-sayup seperti ada suara Akmal yang mengajaknya meneruskan mabar yang belum tuntas semalam.
“Axel..!” suara itu tiba-tiba membangunkannya. Suara yang sangat dikenal Axel. Ya , suara bapak! Tiba tiba saja Axel ingat sawi dan pasar Mergan.
Mati aku, pikirnya kalut.
Jam sudah menunjukkan pukul lima kurang. Berarti sudah hampir tiga jam ia tertidur.
Cepat-cepat Axel menuju ke bapak di ruang tengah.
“Dari mana saja, kamu?” tanya bapak tidak ramah. Ada titik-titik keringat di dahi bapak. Wajah bapak agak merah karena terlalu lama di depan kompor.
“Ma..maaf, Pak, Axel tertidur,” katanya penuh sesal.
Bapak tidak mau mendengarkan jawabannya. Tanpa melihat Axel, bapak segera menuju ke kamar. Tampak sekali bapak lelah sehabis memasak pesanan pangsit untuk pertemuan di Balai RW habis Maghrib nanti.
Dengan langkah gontai Axel menuju kamar mandi. Sholat Ashar pun belum dilakukannya, padahal jam sudah menunjukkan pukul lima lebih.
Habis Asharan suasana terasa sepi. Tidak ada gurau bapak maupun ibuk sore ini.
Tiba-tiba sebuah notifikasi masuk lewat HPnya. Ada pesan masuk
Axel melirik sekilas. Dari Akmal.
Uh, paling mau mengajak main lagi, pikir Axel malas.
Axel diam di kamarnya sambil menunggu azan Maghrib tiba. Sayup suara qiroah dari langgar membuat hatinya kian sedih. Sungguh, ini hari yang buruk, pikirnya. Pagi-pagi dimarahi Bu Inggrid, dan sore didiamkan oleh bapak. Padahal pada kedua nya Axel sangat hormat dan sayang.
“Axel, sedang apa, Le?” tanya Ibuk sambil duduk di sebelahnya.
“Nunggu Maghrib , Buk,” jawabnya lirih. Ibuk mengelus kepalanya.
Ah, Axel jadi ingin menangis. Sepertinya cuma Ibuk yang selalu baik padanya.
Perlahan ibuk bercerita bahwa tadi bapak mencari-cari dirinya untuk meminta tolong membelikan sayur buat kelengkapan pangsit. Tapi rupanya ia tertidur begitu pulas, hingga meski berkali -kali dibangunkan ia tidak juga membuka mata. Tidur terlalu malam membuatnya ngantuk luar biasa.
Axel tiba-tiba ingat nasehat guru olah raganya bahwa tidur adalah sesuatu yang harus dibayar. Jika kita kurang tidur, tubuh kita akan terus menagihnya dengan terus merasa ngantuk.
“Axel tadi malam tidur jam berapa?” tanya Ibuk kemudian.
Pertanyaan yang sangat singkat , tapi membuat Axel kebingungan. Betapa tidak? Kemarin jam sembilan ia sudah masuk kamar dengan alasan akan segera tidur. Tapi kenyataannya di dalam kamar ia mabar dengan Akmal sampai larut malam.
“Jam berapa?” tanya Ibuk lagi
“Jam.. duabelas, Buk…,” jawabnya lirih.
Ibuk tampak terkejut.
“Mengerjakan tugas?” tanya Ibuk dengan tatap mata penuh selidik.
Axel menunduk.
“Bu..bukan Buk.., Axel mabar sama Akmal,” jawabnya.
“Astaghfirullah Le…, jadi tidur sampai jam segitu hanya untuk mabar? Lalu apa manfaat yang kamu dapatkan?” suara ibuk agak meninggi.
“Ma..maafkan Axel Buk…,”
Kali ini Axel benar benar menangis. Ibuk, orang yang terbaik padanya ternyata juga marah. Betapa besar kesalahan yang telah diperbuat dirinya.
Lama keduanya diam. Ibuk tampak begitu kecewa. Axel menunduk dengan penyesalan yang tiada habis-habisnya.
“Buk..Axel minta maaf..,” katanya lagi sambil mencium tangan ibuk. Ibuk mengelus kepala Axel.
Sebuah notifikasi masuk WhatsAppnya. Dari grup kelas. Bu Inggrid.
“Anak- anak, jangan lupa kerjakan PR, dan tidur tidak boleh terlalu malam.., ingat salah satu pesan dari tujuh kebiasaan anak Indonesia hebat adalah tidur cepat..,” kata Bu Inggrid dalam pesannya.
Penyesalan dalam diri Axel kian bertambah. Hari itu Axel belajar untuk tidak mengikuti kesenangan sesaat. Ya, mengejar kesenangan sesaat membuat Axel harus menghadapi berbagai macam masalah.
Juga satu hal lagi yang sangat penting, jangan suka mengabaikan nasehat orang-orang yang menyayangimu, terutama kedua orang tua dan gurumu.
#cerpenanak
# pulpen
#sayembarapulpenxxvii;
- The Two Frogs: A Short Story on Maintaining an Optimistic Outlook - September 9, 2025
- Tebarkan Kasih Pada Sesama, Giat Pondok Kasih di Bumi Bintaraloka - September 6, 2025
- Bersama Podomoro, Perayaan Maulid Nabi Terasa Kian Hangat dan Berkah - September 6, 2025