Membaca topik pilihan Kompasiana tentang makanan berempah ingatan saya langsung tertuju pada jenis makanan satu ini. Gulai.
Ya, gulai kambing, makanan yang begitu lezat dan rempahnya begitu terasa. Paduan tumbar, jintan, kayumanis membuat gulai kambing hadir dengan aroma yang begitu menggoda.
Tentang Makanan Berempah
Makanan berempah di Indonesia banyak sekali jenisnya seperti gulai, rendang, soto, kare, rawon,opor, dan yang lain.
Kaya akan hasil rempah-rempah, membuat orang Indonesia bisa membuat berbagai kreasi masakan yang lezat menggoda selera. Bahkan beberapa di antaranya masuk dalam kategori hidangan terlezat di dunia. Sebutlah rawon atau pecel yang dinobatkan sebagai sup terenak dan salad terbaik di dunia versi Taste Atlas.
Dari berbagai sumber, diketahui bahwa gulai adalah jenis masakan yang tumbuh dan berkembang di Sumatera.
Gulai pada mulanya mendapat pengaruh dari India, namun cita rasa India diubah total dengan aneka bumbu dan rempah khas Nusantara
Dalam perkembangannya isi gulai pun kian bermacam. Berbagai macam hidangan protein hewani hingga aneka sayur bisa menjadi isi gulai khas Indonesia .
Hidangan gulai kambing mempunyai cerita tersendiri dalam hati saya. Tidak hanya lezat dalam rasa tapi juga indah pada kenangan yang tercipta.
Di masa kecil, sekitar tahun delapan puluhan sebagaimana anak anak seusia saya, setiap hari saya mengaji di sebuah masjid besar yang berlokasi dekat pasar, tak jauh dari rumah.
Di sebelah masjid kami terdapat sebuah warung yang lumayan besar. Warung itu beratap terpal dan ditutupi kain yang melingkar dengan warna biru bersih.
Di kain tersebut terdapat tulisan dengan sablon warna merah. Warung Nasi Sate dan Gule Kambing “Sederhana”, begitu bunyinya.
Seperti namanya, fontnya demikian sederhana. Namun dibalik kesederhanaan itu kehadiran warung ini selalu menjadi perbincangan kami setiap pulang mengaji.
Mengapa? Aromanya sedap sekali. Bau gulai selalu menguar memenuhi udara sore tatkala yang jualan membuka tutup panci besar berisi penuh gulai di bagian belakang warung.
Belum lagi jika pada saat yang bersamaan penjual juga sedang membakar sate. Wah, paduan bau keduanya membuat cacing cacing di perut serasa menari nari.
“Wenak paling yo..., ” kata teman saya sambil menghirup baunya dalam- dalam.
“Iya lah… larang tapi,” jawab teman yang lain.
Ya, menurut ukuran kami saat itu gulai kambing adalah makanan yang mahal, sehingga jarang-jarang kami bisa menikmatinya kecuali pas Hari Raya Iedul Adha.
Seingat saya ibuk pernah membeli gulai di warung ini satu kali. Harga satu rantang kira kira 2000 rupiah. Mahal menurut kami. Dan dengan harga tersebut gulai hanya cukup dibagi kami bertiga. Bapak dan Ibuk makan dengan lauk lainnya.
Sesudah satu kali makan gulai itu (meski dengan kuah yang sedikit), saya semakin yakin bahwa ini adalah makanan yang paling lezat, juga mahal. Bahkan saking mahalnya saya tidak lagi berangan-angan untuk makan gulai tersebut. Paling juga tidak dibelikan pikir saya.
Tapi siapa sangka pada suatu hari saya tiba-tiba dajak bapak makan di warung “Sederhana” tersebut.
Malam itu saya baru saja mengikuti latihan karate di Museum Brawijaya. Ya, di masa kecil latihan menari, karate, basket saya coba semua. Kata bapak, mumpung masih muda, harus banyak beraktivitas.
Nah, hari Minggu malam adalah jadwal saya untuk latihan di museum Brawijaya. Latihan dimulai pukul tujuh dan diakhiri sekitar pukul setengah sembilan.
Selesai latihan biasanya Bapak sudah menunggu saya di bawah pohon dekat museum Brawijaya bersama sepeda motor Bebek 75 merah yang selalu setia menemaninya.
Sepeda motor kami terus berjalan menembus malam. Jam setengah sembilan suasana Kota Malang sudah terasa sepi. Jalan Ijen terasa agak lengang. Hanya satu dua sepeda motor yang lewat.
Saya duduk di belakang sepeda motor bapak yang berjalan pelan.
” Bagaimana latihannya?” tanya bapak.
“Asik juga. Mungkin habis ulangan umum, jadi yang latihan agak banyak,” jawab saya sambil memegang tas saya erat-erat.
Sepeda motor kami tiba- tiba berhenti di depan warung dengan tutup biru tersebut. “Sederhana”. Aih…
“Kok ke sini?” tanya saya heran.
Bapak tersenyum.
“Makan dulu.. habis olah raga, pasti lapar,”
Bergegas saya turun dari boncengan dan ikut bapak masuk ke dalam warung.
“Sekul gulai kalih, wedang jeruk kalih,” kata bapak pada sang penjual.
Rasanya seperti bermimpi. Membayangkan membeli gulai saja sudah tak pernah, apalagi makan di warungnya.
Saya duduk di sebelah bapak. Aroma gulai kambing demikian menggoda hingga perut saya mulai berbunyi.
“Krupuk?” tanya bapak sambil mengambil dua bungkus krupuk puli dan meletakkan di depan saya.
Tak lama kemudian pesanan kamipun datang. Dua mangkok nasi gulai lengkap dengan sambal dan jeruk nipis dalam piring kecil dan dua minuman jeruk nipis hangat.
Tanpa dikomando dua kali saya segera makan. Sambil bergurau saya menceritakan asyiknya latihan karate hari itu. Bapak sesekali tertawa. Ya, dalam banyak hal, beliau adalah teman ngobrol yang sangat menyenangkan.
Malam semakin larut. Setelah membayar, bapak mengajak saya untuk segera pulang. Perut saya terasa begitu hangat, apalagi hati saya.
“Kok malam?” tanya Ibuk sesampai di rumah. Saya dan bapak cuma tersenyum penuh rahasia.
Cerita tentang nasi gulai kambing itu baru kami buka keesokan harinya. Seperti yang diperkirakan, mas dan adik saya langsung protes dan ingin diajak makan ke warung “Sederhana”.
Sejak saat itu saya merasa bahwa gulai kambing adalah hidangan terlezat yang pernah ada.
Mengapa ? Bukan hanya karena terasa begitu sedap dan kaya rempah, tapi selalu mengingatkan saya pada bapak dengan segala kenangan dan kasih sayangnya.
Arti istilah:
Sekul gulai kalih, wedang jeruk kalih : nasi gulai dua, minuman jeruk dua
Wenak paling yo… : sepertinya enak ya ..
Iya lah… larang tapi : iya, tapi mahal
- Potluck Sego Pecel di Hari yang “Sangat Bernilai” - December 18, 2024
- Selamat Memasuki Masa Purnatugas, Ibu Uci Lusiati - December 16, 2024
- Bapak dan Gulai Terlezat di Dunia - December 15, 2024
Rasanya pengen nangis juga baca kenangan dengan orang yang telah tiada