Sekawan artinya empat, dan limo artinya lima. Jika kita berlima sekarang ini , berarti satu dari kita bukan manusia (dialog dalam film Sekawan Limo)
Catatan tentang film Sekawan Limo ini saya buat setelah Rabu siang saya diajak anak saya nonton di Dieng Cyber Mall. Film dimulai pukul 13.15 dan diakhiri pukul 15.15 wib.
Ulasan tentang Sekawan Limo sudah pernah ditulis oleh beberapa Kompasianer. Jujur, saya tertarik melihat film ini karena membaca review dari teman-teman di Kompasiana.
Sehari sebelum review itu tayang, saya berjalan-jalan ke Matos dan membaca poster film ini di Cinepolis.
“Sepertinya bagus ya Buk?” kata anak saya.
“Horor ya..,” kata saya
“Pasti banyak misuhnya,” tambah saya sambil tertawa ketika melihat wajah Bayu Skak ada di sana.
Ya, saya pernah melihat film dari Bayu Skak sebelumnya yang berjudul Yo Wis Ben. Dan memang disitu banyak dialog yang memunculkan satu kata khas daerah Malang dan Surabaya.
Bagi yang terbiasa menggunakannya kata tersebut tidak kasar, bahkan justru menggambarkan keakraban. Namun bagi yang tidak biasa, kata tersebut terasa kasar dan kami menyebutnya “misuh”.
Mulanya saya kurang berminat juga karena ini film horor. Tapi ketika diterangkan dalam review bahwa film ini mengandung unsur komedi tapi juga mengharukan, saya jadi tertarik.
Film ini bercerita tentang lima orang yang melakukan pendakian ke gunung Madyopuro. Lima orang tersebut baru bertemu di lokasi (kecuali Bagas dan Leni) yang akhirnya bergabung menjadi satu rombongan.
Banyak peristiwa yang mereka alami selama melakukan pendakian. Dalam film ini digambarkan pergulatan dalam diri masing-masing tokohnya yaitu Bagas, Leni, Dicki, Andrew dan Juna dengan masalah yang membebani diri masing-masing.
Ya, setiap tokoh di sini mempunyai masalah masing-masing sehingga punya tujuan yang berbeda dalam perjalanan mendaki Gunung Madyopuro.
Leni ingin menghapus rasa berdosa karena ia merasa menjadi penyebab meninggalnya ibunya, Dicki ingin mencari jimat di Gunung Madyopuro karena ia terlibat judi online sehingga mempunyai banyak hutang.
Juna yang sering di-bully karena anak koruptor, juga Andrew yang kekasihnya hamil dan hubungannya kurang direstui oleh orang tuanya karena keluarga mereka berbeda ‘kasta’. Satu satunya tujuan yang paling sederhana adalah Bagas yang ingin mengantar Leni karena ia suka pada gadis ini.
Ada satu mitos yang mengatakan bahwa jumlah pendaki dalam satu rombongan harus genap, dan dalam perjalanan mereka tidak boleh menoleh ke belakang.
Di sini cerita berjalan semakin asyik. Karena jumlah mereka dalam satu rombongan adalah lima akhirnya mereka mulai sadar bahwa satu di antara mereka bukan manusia alias dhemit.
Rasa curiga mulai timbul di antara mereka karena dalam perjalanan mereka terus berputar-putar dan selalu dibayangi hantu masing-masing.
Menoleh ke belakang. Kata yang berlawanan dengan mitos ini ternyata justru menjadi kunci pemecahan masalah.
Dengan petunjuk Bagas yang mengajak mereka ‘menoleh ke belakang’, akhirnya satu per satu Leni, Juna, Andrew, Dicki bisa berdamai dengan diri mereka, memaafkan masa lalu mereka dan berusaha memperbaiki kesalahan yang sudah diperbuat.
Dengan menoleh ke belakang. Kita bisa berdamai dengan masa lalu, memaafkan kesalahan diri dan berusaha menyelesaikan masalah yang terjadi. Karena masalah seharusnya dihadapi, bukan dihindari.
Berdamai dengan diri sendiri, menerima dengan ikhlas atas semua masalah sangat diperlukan agar langkah ke depan kita lebih ringan. Mungkin karena itu, tokoh Bagas tidak pernah didatangi sosok hantu, karena ia bisa ikhlas atas masalah yang dihadapi. Masalah yang tidak ringan sebenarnya, karena Bagas yatim piatu sejak kecil.
Mulai awal hingga akhir kita diajak tertawa, tegang, sekaligus terharu secara berganti-ganti. Kadang di titik di mana kita sangat terharu karena dialog-dialog yang tercipta (seperti dalam adegan ketika dhemit yang sesungguhnya mengaku), tiba-tiba kita dibuat tertawa oleh celetukan- celetukan para tokohnya.
Di samping kesetiakawanan dan kegigihan, sekilas film ini juga memberikan pelajaran tentang betapa jahatnya bullying, judi online juga jangan sampai kita melakukan korupsi. Mengapa? Bukan hanya pelaku korupsi yang mendapatkan hukuman, tapi keluarganya juga akan mendapat sanksi dari orang sekitarnya.
Salut pada Sekawan Limo yang hampir seluruh adegannya diisi dengan bahasa daerah. Munculnya dialek Malang, Surabaya bahkan Jogja membuat kita merasakan perbedaan di antara kita terasa begitu indah dan unik.
Menariknya film ini juga menggandeng Kartolo dan Ning Tini, pasangan seniman ludruk yang sangat terkenal. Meski muncul cuma sebentar, dialog antara Kartolo sebagai dukun dan Dicky membuat film ini terasa semakin segar.
Satu catatan terakhir, mungkin sebaiknya kosa kata khas Malang dan Surabaya yang saya sebut di atas sebagai ‘ misuh’ itu dikurangi agar dialog tidak terkesan kasar sehingga film bisa lebih enak untuk dinikmati..😃
Artikel ini ditayangkan di Kompasiana 120724
- Hargai Perbedaan dan Merajut Pertemanan Melalui Online International Exchange - December 26, 2024
- Berbagai Kenangan tentang ‘Ngeteh’ Bersama - December 24, 2024
- Mengenang Tokoh Matematika Srinivasa Ramanujan - December 22, 2024