Ketika Nyinyir Tetangga Jadi Hiburan di Layar Lebar, Review Film “Cocote Tonggo”

Jam masih menunjukkan pukul 14.00 siang. Suasana Dieng Cineplex sudah begitu ramai. Maklumlah akhir pekan. Berdua saya dengan seorang teman segera membeli dua tiket. Aha, sesuai rencana hari itu kami akan menonton film Cocote Tonggo.

Rasa tertarik untuk melihat film ini berawal dari potongan potongan film yang selalu muncul di Instagram saya.

Sepertinya lucu ini Bu, ayo lihat?” ajak saya pada teman saya, dan langsung di iyakan. Wuih, senangnya… Kapan lagi bisa nonton bareng seperti ini.

Ketertarikan pada film ini semakin bertambah ketika Kompasianer Siska Artati mengajak saya nonton film ini.. he..he.. . Waduh, tidak terbayangkan bagaimana seandainya saya dan Mbak Siska nonton bareng. Ramai pasti..

Belum selesai, kira kira seminggu yang lalu ada sebuah bus besar berhenti di depan hotel dekat sekolah saya. Bus dengan tulisan Cocote Tonggo. Wah, bus ini seolah ngawe awe mengajak saya menonton film ini.

Bus Cocote Tonggo, dokumentasi pribadi

Film dibuka dengan lagu dangdut Jacky yang diputar dari sebuah tape recorder yang digeledek keliling kampung. Lagu yang pernah dipopulerkan Rita Sugiarto di kisaran tahun 80 an ini langsung membuat kami tersenyum. Feel-nya langsung kena.

Lagu Jacky, orang orang kampung yang ribut mau melihat persiapan shooting film terasa begitu ramai. 

Rupanya hari itu memang ada acara shooting pembuatan iklan untuk promosi Jamu Djoyo milik Ibu Tien, salah satu penduduk kampung tersebut.

Di awal film sudah tampak betapa sirik dan julidnya beberapa warga kampung yaitu Bu Pur dan teman temannya pada keluarga Bu Tien. Komentar komentar pedas selalu diberikan oleh Bu Pur atas apapun yang dilakukan Bu Tien dan Murni anaknya.

Cocote Tonggo, sumber gambar : Kapanlagi.com

Cocot dalam bahasa Jawa artinya mulut tapi dengan konotasi kasar.  

“Cocote Tonggo” artinya cibiran tetangga. Makanya tak heran sepanjang film ini kita disuguhi dengan ulah tetangga yang suka mencibir pada orang lain. Tetangga yang suka nyinyir dan selalu sibuk menggunjing orang lain.

Film dengan durasi kira- kira dua jam ini bercerita tentang pasangan suami istri , Luki (Denis Adhiswara) dan Murni (Ayu Shita) yang mewarisi usaha toko jamu dari Bu Tien. 

Toko Jamu kesuburan yang semula laris itu semakin menurun pembelinya karena Murni yang sudah menikah selama lima tahun belum juga dikaruniai anak. Bagaimana mungkin penjual jamu kesuburan sendiri belum juga punya anak?

Kondisi Murni yang demikian ini dipakai Bu Pur dan teman- temannya untuk memojokkan dan menekan Murni secara langsung ataupun lewat sosmed, dan berakibat toko jamu semakin sepi.

Dengan niat agar toko jamu ramai kembali, Murni dan Lukipun mengikuti program hamil.

Tidak cukup itu, usaha dilanjutkan dengan ke dukun bayi bahkan mencari tanaman parijoto.

Parijoto adalah tanaman di sekitar makam Sunan Muria yang dipercaya bisa meningkatkan kesuburan.

Suasana dan konflik makin ramai ketika Luki menemukan bayi di depan rumah, dan Murni memutuskan untuk pura-pura hamil agar Toko Jamu Djoyo ramai kembali.

Dalam bioskop, dokumentasi pribadi

Sandiwara akhirnya berakhir dan membuka sebuah sejarah masa lalu tentang mengapa Bu Pur begitu membenci keluarga Murni. Sandiwara yang ternyata juga  membongkar aib dari keluarga Bu Pur sendiri.

Lalu bagaimana akhir kisah ini?  Apakah Murni dan Luki dikaruniai anak?

Sepertinya menonton film ini terasa lebih mengasyikkan. 

Dari awal hingga akhir film ini sukses mengajak para penontonnya tertawa. Dialog Jawa yang kental, ungkapan- ungkapan spontan yang muncul, lagu- lagu dangdut lawas dari tape recorder nya Mbah Mila membuat film terasa segar. Meski penuh dengan bahasa Jawa tapi penonton tak usah khawatir karena ada terjemahannya.

Kehadiran Yati Pesek (Mbah Mila), Asri Welas (Bu Pur), Bayu Skak ( sebagai Pak Gatot, meski muncul cuma sebentar), Sundari Soekotjo (Bu Tien), Brilliana Arfira (Bulik Yayuk), Maya Wulan (Bu Heri), Putri Munjo (Bu Wira) membuat film ini terasa begitu ramai. Ya, nuansa julid tetangga di kampung begitu terasa.

Khasnya film Bayu Skak, dialog yang ada ‘misuh’ nya kadang muncul. Bagusnya dalam film ini misuhnya sudah jauh berkurang, tidak seperti di film Sekawan Limo misalnya.

Sebagai hiburan di akhir pekan film ini cukup recomended tapi kurang cocok untuk anak -anak. 

Dokumentasi pribadi

Ada pelajaran penting yang bisa diambil dari film ini, yaitu jangan biarkan lingkungan sekitar  mendikte kita dalam melangkah.

Tidak perlu menghiraukan segala omongan atau komentar orang lain, asal kita yakin dengan apa yang kita lakukan dan tetap berada di atas kebenaran, terus saja berjalan. 

Ya, kebahagiaan kita tergantung kita sendiri. Jangan biarkan orang lain ikut menentukan standar kebahagiaan kita.

Salam akhir pekan

Yuli Anita

2 Comments

  1. Bukan hanya filmnya yang menarik
    Tulisan sederhana ini membuat pembaca ikut masuk “Cocote Tonggo”
    Anita Math memang ahli

Leave a Comment

Your email address will not be published.

22 views