Galak Gampil [Sebuah Cerpen Lebaran]

Maghrib hampir menjelang. Tiga anak kecil masih berkutat dengan alat permainannya di serambi depan. Gadget. Apa lagi? Jika dulu permainan identik dengan berlarian ke sana kemari, sekarang bermain adalah duduk diam dengan gadget di tangan.

Permainan di layar tampak demikian seru. Mata ketiganya tak henti menatap layar yang menyajikan gambar berwarna-warni.

“Aku nyilih,” kata salah seorang di antara mereka.
Ya, ada tiga anak , tapi gadget cuma dua. Pastinya salah satu hanya jadi penonton atau syukur-syukur jika dipinjami.

“Nih..,” kata pemilik gadget pada temannya.
Dengan sigap si peminjam meraih gadget lalu memainkan permainan yang sama dengan gerakan jemari yang tak kalah lincah.

“Belum dibelikan HP, Yan?” tanya anak pertama.
Si peminjam tadi, Yayan, cuma menggeleng.
Sambil memusatkan konsentrasi pada koordinasi antara mata dan jemarinya. Permainan semakin seru.

Anak bermain game, sumber gambar: Manado Post

“Galak gampil mu dapat berapa?”
“Tujuh ratus lima puluh ribu.. ,” jawab Yayan
“Hah…? Banyak sekali? Mbok beli HP?” tanya temannya lagi heran.
Yayan menghela nafas. Matanya tak lepas dari layar permainannya.

“Belum boleh sama ibuk ku Don,..,”
“Lha kenapa?”
“Masih kurang katanya,”
“Iya sih, kata Masku kira – kira satu juta seratus sudah dapat HP bagus,” jawab Doni, si penanya sok tahu.

“Besok bulikku datang dari Surabaya..biasanya ngasih galak gampil banyak. Mudah-mudahan bisa untuk tambahan beli HP..,” tambah Yayan.

“Iya.. kalau kita main bertiga tambah asyik. Gak usah saling meminjam,” timpal Aris, anak ketiga yang dari tadi hanya jadi pendengar karena asyik dengan permainannya.

“Yayan…, Ayo maghriban,” sebuah teriakan membuyarkan konsentrasi ketiganya.

“Sedikit lagi, Buk..,” jawab Yayan malas. Duuh, kok cepat sekali sih Maghribnya. Heran, kemarin waktu puasa Maghrib terasa lama sekali datangnya sekarang puasanya habis, Maghrib seolah datang lebih cepat.

“Ayo..Ndang… Sudah qomat itu…,”tambah ibu Yayan yang sudah memakai atasan mukenah, siap berangkat ke langgar.

Dengan malas Yayan mengembalikan HP pada temannya, lalu ketiganya bergegas menuju ke langgar yang tak jauh dari rumah.

Malam semakin larut. Meski jam sudah menunjukkan hampir pukul sembilan ibuk belum menyuruh Yayan dan Sari untuk segera tidur. Maklumlah , liburan masih kurang empat hari lagi.

Yayan duduk di kelas lima sedangkan Sari masih duduk di TK. Keduanya sedang asyik menonton sebuah acara televisi.

“Pak.., Bulik Surti kapan ya ke Malang?” tanya Yayan mendekati bapaknya.
“Mungkin besok Le, kenapa?” tanya bapak balik.
“Kangen sama Bulikmu?”

Yayan tersenyum. Demikian juga ibuk yang sedang menyiapkan bumbu-bumbu untuk jualan besok pagi. Ya, ibuk adalah penjual pecel dan lontong sayur di depan rumah setiap pagi. Malam hari adalah saat ibuk menyiapkan bumbu dan membuat berbagai macam masakan.

Bulik Surti adalah adik bapak satu-satunya. Bulik Surti mempunyai usaha warung yang cukup besar di Surabaya. Karenanya uangnya banyak, dan yang paling disenangi Yayan, Bulik sangat ‘loman’. Apalagi pada Yayan yang begitu akrab dengan Dadik anak Bulik Surti satu satunya.

“Pak, kalau galak gampil ku itu buat beli HP kurang berapa ya?”tanya Yayan lagi.
Bapak menghela nafas . Diletakkannya obeng yang dari tadi dipakai untuk memperbaiki magic jar yang rusak.

“Kenapa harus beli HP? Pinjam punya ibuk atau bapak ‘kan bisa?” jawab bapak lagi.

Yayan mulai cemberut.
“Tidak enak Pak.. pinjam-pinjam terus.., lagipula HP bapak dan ibuk kurang support kalau buat nge-game..,”
“Halah, game-game terus ae.. sebentar lagi sudah masuk sekolah, Le…,” jawab bapak sambil kembali meneruskan pekerjaannya.

Wajah Yayan semakin mendung. Bapak selalu begitu, pikirnya.
“Yayan, ayo ndang tidur sana..,” kata ibuk sambil menggendong Sari yang tertidur di bangku menuju ke kamar. Yayan mengikuti ibuk dari belakang.

“Buk, aku jadi dibelikan HP atau tidak?” tanya Yayan sambil membaringkan tubuhnya di dipan. Ada dua dipan di kamar mereka. Satu buat Sari, satu buat Yayan.

Uang galak gampil, sumber gambar: Bareksa

“Jadi Le.., tapi kan masih kurang uangnya?” jawab ibuk sabar.
“Mudah-mudahan besok Bulik Surti datang ya Buk? Biasanya galak gampilnya banyak,” kata Yayan lagi.

“Hush, tidak boleh arep-arep begitu.. tidak baik,” kata ibuk mengingatkan.

Yayan tersenyum kecil. Guru agamanya juga bilang begitu. Tidak boleh mengharap bahkan minta uang saat lebaran. Mengurangi keikhlasan silaturahmi katanya.

Tapi dari lebaran ke lebaran tiap anak pasti hafal siapa saja saudara yang selalu memberi galak gampil. Utamanya yang jumlahnya banyak.

Ibuk keluar dari kamar anak-anak. Meninggalkan Yayan yang masih berkutat dengan bayangannya tentang HP baru.

“Belum selesai Pak?” tanya ibuk sambil mendekati bapak masih asyik dengan obeng , mur dan dan peralatan lainnya.
“Sedikit lagi..,” jawab bapak singkat.

“Pak, uang Yayan bagaimana?” bisik ibuk hati-hati.
Bapak menghela nafas panjang.
“Yang 300 kemarin dipakai bayar listrik sama air kan? Tapi minggu depan ada yang minta tolong membetulkan atap dapur. Nanti kita ganti,” jawab bapak tak kalah pelan.

Garapan bapak sebagai tukang serabutan memang sedang sepi. Tidak seperti biasanya, tidak ada yang minta tolong memperbaiki sesuatu pada bapak di sekitar Lebaran tahun ini. Garapan baru ada mulai minggu depan.

Ibuk mengangguk. Berarti uang yang dipercayakan padanya tinggal 450 ribu.
Ah, makin jauh dari HP impian Yayan, pikir ibuk.

Semua diam. Hanya televisi yang masih terus menyiarkan acara komedi yang makin lama terasa semakin tidak lucu.

Sambil mengupas bawang ibuk terus memutar otak memikirkan jawaban untuk pertanyaan tentang HP dari Yayan besok dan besok nya lagi.

Arti istilah:

Galak gampil : THR lebaran
Nyilih : pinjam
Arep arep : mengharapkan
Ndang : cepat

Silaturahmi Keluarga Besar Bani KH M. Abd. Hadi 1 Syawal 1444 H

Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Laa Ilaha illallah huwallahu Akbar
Allahu Akbar walillahil hamd

Gema takbir bersahut-sahutan menandakan Hari Kemenangan telah tiba. Setelah satu bulan menjalani puasa Ramadhan kini saatnya kita kembali dipertemukan dengan bulan Syawal.

Suasana silaturahmi, dokumentasi pribadi

Ada rasa gembira sekaligus sedih.
Gembira karena saat kemenangan telah tiba, sedih karena berpisah dengan Ramadhan, bulan yang begitu mulia.

Lebaran identik dengan silaturahmi. Setelah sholat Id, pagi ini acara kami adalah silaturahmi. Pagi dengan tetangga, agak siang silaturahmi dengan saudara.

Doa bersama, dokumentasi Wachid

Silaturahmi berasal dari bahasa Arab yang berarti jalinan kasih sayang atau hubungan kasih sayang

Ada banyak manfaat dari silaturahmi, di antaranya adalah membawa kemudahan rezeki, umur yang panjang, serta limpahan kebaikan dan hidayah oleh Allah SWT.

Di tahun ini Silaturahmi Keluarga Besar Bani KH M. Abd. Hadi kembali digelar. Pertemuan dilaksanakan di Riverfront Resort blok A-21.

Undangan silaturahmi, dokumentasi Wachid

Silaturahmi kali ini terasa begitu menyenangkan sekaligus mengharukan. Tiga tahun kami tidak bisa menjalankan kegiatan ini dengan bebas. Pandemi membuat kami harus menahan diri.

Berjumpa kembali secara langsung dengan kerabat hari ini banyak membuat kami pangling. Banyak sekali perubahan yang terjadi selama dua tahun ini.
Lebih-lebih melihat keponakan yang semakin besar-besar.

Para keponakan, dokumentasi pribadi

Kerabat yang datang dari berbagai usia, cemilan dan makanan yang beraneka macam, membuat suasana terasa demikian hangat. Apalagi di antara hidangan tersebut ada juga bakso Malang yang tentu saja tak boleh dilewatkan.

Suasana silaturahmi, dokumentasi Wachid

Sekitar habis Ashar kami pamit pulang karena ada agenda lain yaitu mengunjungi keluarga di Bareng Kulon. Benar-benar hari yang melelahkan tapi menyenangkan.

Berbagai macam hidangan, dokumentasi Wachid

Akhirnya selalu ada banyak cerita dari Lebaran. Semoga Lebaran tahun ini memberikan berkah dan kebahagiaan pada kita semua, dan semoga Allah mengampuni semua dosa kita sehingga di hari yang Fitri ini kita kembali suci seperti bayi yang baru dilahirkan.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1444 H , mohon maaf lahir dan batin.

Baca juga:

Baju Lebaran dan Kenangan yang Menyertainya

Lebaran dan baju baru seolah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Meski banyak yang berpendapat bahwa lebaran tak harus berbaju baru, tapi mengenakan baju baru saat lebaran adalah kebahagiaan tersendiri. Tidak hanya bagi anak kecil, semua akan merasa bahagia jika berbaju baru pas lebaran.

Menyiapkan baju lebaran selalu mengingatkan saya di masa kecil. Lebaran yang penuh kenangan utamanya yang berkaitan dengan persiapan baju baru.

Lebaran dan baju baru, Sumber gambar: CNN

Ya, bapak dan ibuk  saya adalah penjahit. Karenanya kami hampir tidak pernah membeli baju jadi di toko. Semua baju lebaran dirancang sekaligus dijahit ibuk dan bapak.

Sebagai keluarga penjahit kami pasti punya buku mode blad. Buku mode blad adalah buku yang berisi berbagai macam  model pakaian. Mode blad selalu diletakkan di ruang tamu untuk orang yang akan menjahitkan pakaian.

Dua minggu menjelang lebaran kami mulai sibuk mencari dan merancang model. Ilham didapat dari buku mode blad lalu dimodifikasi.

Biasanya model dan kain baju  kakak dan adik saya dikembar karena keduanya sama-sama laki-laki. Sementara saya paling berbeda karena perempuan sendiri dan dapat paling banyak. He..he..  Mengapa? Karena saya paling rajin membantu bapak memasang kancing, menyetrika baju ataupun membeli perlengkapan jahit, seperti jarum, benang , resluiting dan lainnya.

Di antara semua pelanggan bapak , yang paling saya ingat ada satu pelanggan yang selalu menjahitkan untuk sekeluarga tiap menjelang lebaran. Pelanggan favorit kami.

Penjahit, sumber gambar: tribun Bogor

Mengapa favorit? Pelanggan ini puteranya lima. Jadi sekali menjahitkan ada tujuh stel baju. Untuk ibu , bapak, dan kelima anaknya. Senang? Tentu saja. Banyak jahitan berarti bapak mempunyai banyak uang bukan?

Di zaman itu penjahit sedang berjaya. Toko baju tidak sebanyak sekarang. Akibatnya dua minggu menjelang lebaran bapak mulai menolak jahitan yang diminta untuk berlebaran.
Saat seperti itu biasanya bapak hanya mau menerima jahitan yang akan dipakai  sesudah lebaran.

Saat itu di rumah ada lemari besar khusus untuk kain para pelanggan . Kami namakan itu lemari garapan. Ketika menjelang lebaran, lemari itu sampai tidak bisa ditutup saking penuhnya. Bisa dibayangkan betapa banyak jahitan bapak saat itu.

Banyaknya jahitan bapak kadang membuat kami anak-anaknya khawatir. Jangan- jangan bapak tidak punya waktu untuk menjahit baju kami bertiga? Apakah lebaran kami juga berbaju baru?

Kadang dua hari menjelang lebaran,  baju kami masih berupa potongan kain. Duh, benar-benar hati jadi deg-degan. Jangan-jangan bapak lupa dengan baju-baju kami saling banyaknya baju pelanggan yang harus diselesaikan.

Tapi kekhawatiran kami itu tak pernah terjadi. Bapak dan ibuk sering melembur baju baru kami di malam takbiran, dan baru disetrika esok hari menjelang  sholat Id. Yang jelas, pas lebaran kami pasti mengenakan baju baru

Masa kejayaan penjahit mulai meredup ketika toko-toko baju banyak berdiri di mana-mana. Ya, orang-orang banyak yang lebih memilih untuk membeli pakaian jadi.

Alasannya bajunya bisa langsung dipakai,  dan  modelnya bermacam-macam pula.  Sementara kalau menjahitkan harus menunggu beberapa hari baru bisa dipakai.

Sampai akhirnya jahitan bapak semakin sepi dan bapak pindah profesi. Sesekali bapak masih menerima jahitan dan yang banyak adalah permak. Ya, biasanya dari orang yang membeli baju di toko,  lalu karena ukuran yang kurang pas,  baju dibawa ke rumah untuk dipermak.

Toko baju, sumber gambar: Kompas.com

Begitu sepinya jahitan, bahkan kamipun akhirnya ikut-ikutan membeli baju jadi saat lebaran. Sudah tidak ada lagi kesibukan menyiapkan baju lebaran di malam takbiran.

Tahun demi tahun berlalu, keberadaan penjahit di kampung semakin tergusur. Bapak sudah lama meninggal. Tapi nuansa  persiapan menyambut kedatangan lebaran, termasuk persiapan baju barunya selalu mengingatkan saya pada suara deru mesin jahit bapak di ruang tengah.

Suara deru mesin yang membuat kami begitu bahagia. Karena suara mesin itu menggambarkan ramainya jahitan bapak. Ramainya jahitan bapak berarti sangu lebaran yang akan kami terima  nanti pasti akan  banyak. Aha..😀

Selamat menyambut datangnya Lebaran…:)

Cerpen Anak-Anak Ramadhan: Gara-Gara Capung

Mentari bersinar begitu terik. Kami bersandar di bawah pohon mangga di tengah lapangan kampung. Tempat favorit kami. Teduhnya pohon mangga yang rimbun membuat suasana panas tidak begitu terasa.

Hari ini lelah sudah kami bertualang. Kami adalah trio Yayan, Bobi dan aku yang kemana -mana selalu bersama. Di mana ada Yayan pasti di situ ada aku dan Bobi.

Bermain bertiga membuat  hari-hari selalu mengasyikkan. Meski kami tahu, orang-orang kampung menganggap salah satu di antara kami, yaitu Yayan,  nakal dan sulit diatur.

Barangkali karena Yayan hanya tinggal berdua dengan ibunya. Bapak Yayan sudah lama meninggal. Ibu Yayan, Bu Surti adalah seorang penjahit. Sehari-hari beliau selalu sibuk dan akhirnya Yayan menyibukkan diri sendiri dengan main tiada henti.

Karena  tak kenal waktu itulah orang kampung memberinya sebutan anak nakal. ‘Kloyongan‘ saja kata para orang tua kami. Saat habis ashar, di mana kami semua harus mengaji, Yayan tetap bermain hingga menjelang Maghrib baru pulang. Entah kemana saja anak itu.

Karena itu sedapat mungkin orang tua selalu mencegah kami bermain dengan Yayan.
Kloyongan saja, tidak tahu waktu , nanti!” begitu selalu kata ibuk mengingatkan aku ketika Yayan tampak menungguku di depan rumah.

Ah, ibuk tidak tahu asyiknya sih… Yayan selalu bisa membuat sesuatu yang biasa jadi istimewa, begitu bisik hatiku.

Ya, membuat sesuatu yang biasa menjadi luar biasa adalah keahlian Yayan.

Pernah kami bermain di sungai mencari ikan kecil-kecil. Kami menamakannya ikan cemplu. Dengan berbekal plastik,  berjam- jam kami bermain di sungai dan bergurau hingga menjelang Ashar.

Tidak puas hanya menempatkannya di plastik, Yayan pulang mengambil ember dan kembali ke sungai. Jadilah kami hari itu berlomba mencari ikan cemplu dan memasukkannya ke dalam ember.

Kami baru berhenti bermain tatkala salah satu dari kami, Anto, kesurupan. Tiba-tiba saja Anto bicara tak tentu arah sambil bertingkah liar. Kami bahkan ditantang berkelahi satu- satu, hingga kami begitu takut dibuatnya.

Segera kami dibantu orang kampung untuk menenangkan Anto. Menurut Mbah Paijo, ‘orang pintar’ di kampung kami, ternyata Anto  ‘kemasukan’, gara- gara kami bergurau dan tertawa- tawa terlalu keras di sungai hari itu.

Bagaimana cerita hari ini?  Petualangan hari ini kami isi dengan mencari bekicot di sekitar sungai. Bekicot-bekicot itu kami jual pada Pak Miseri, peternak bebek di kampung kami. Lumayanlah uang hasil penjualan bisa untuk membeli es gandul buat berbuka puasa nanti sore.

Lelah mencari bekicot membawa kami bertiga duduk di bawah pohon siang ini. Semilir angin membuat mata terasa mengantuk, berkali-kali kulihat Bobi menguap lebar.

Dari kejauhan bunyi gareng pung meramaikan suasana. Kata ibuk, kalau gareng pung sudah terdengar, alamat sebentar lagi musim kemarau.

Membayangkan musim kemarau membuat kerongkonganku tiba-tiba terasa kering.  Entah mengapa matahari bulan Ramadhan selalu terasa lebih panas dari bulan biasa.  Menunggu saat buka rasanya lamaa sekali.

Ah,  tak sabar rasanya menikmati es gandul Mas Jojo yang selalu stand by di depan langgar tiap sore hari. Apalagi uang dari Pak Miseri sudah menunggu manis dalam kantong celana kami.

Capung, sumber gambar: Tahura Bandung

“Cari capung, yuk?” kata Yayan tiba-tiba.
Kami memandang Yayan takjub. Rasa kantuk kami langsung hilang. Teman yang satu ini benar-benar tak pernah kehabisan ide dan tak kenal lelah.

Bobi langsung mengucek matanya dan menggeliat sebentar. Yap! Tanpa banyak kata kami langsung setuju dengan ajakan Yayan.

Bertiga kami mencari lidi dengan ujung diberi semacam getah sebagai perekat. Harapannya dengan lidi berperekat tersebut kaki atau sayap capung akan menempel sehingga bisa kami tangkap.

Tanpa kenal lelah kami kembali ke lapangan mengejar capung yang terbang ke sana kemari. Begitu capung menempel pada lidi, ekornya kami ikat dengan benang dan capung tetap bisa terbang, tapi tidak lepas dari tangan kami.

Akhirnya kami mendapatkan masing masing seekor capung. Tak lama ‘bergurau’ dengan binatang-binatang itu, tiba tiba terdengar azan Dhuhur berkumandang.

Kami langsung menghentikan permainan. Ya, sesibuk apapun, saat sholat kami harus segera sholat. Itu pesan orang tua kami. Kalau saat sholat tidak segera ke langgar, pasti ibuk kami akan mencari kami walau ke ujung dunia sampai ketemu.

“Ayo nang langgar..!” kataku

“Capungnya?” tanya Bobi ragu.
“Lepas saja.. kasihan,” kataku sambil melepas capungku. Masa capung mau dibawa sholat? pikirku.

Bobi segera melepas capungnya juga. Sementara urusan capung kami lupakan dan bergegas kami menuju rumah untuk mengambil sarung.

Dengan berkalung sarung kami menuju tempat wudhu. Gemericik air wudhu terasa begitu menggoda. Betapa segar, pikirku.

“Eits, gak boleh kumur..,” kata Bobi ketika aku hampir mengarahkan air ke mulutku. Ups, baru ingat. Ini puasa. Kalau berkumur di atas Dhuhur kata Mbah Hambali guru ngaji kami makruh hukumnya. Lebih baik tidak dilakukan.

Begitu qomat berbunyi aku segera mengambil tempat di belakang imam. Seperti biasa makmumnya cuma empat orang.  Mas Jojo tukang qomat,  dan kami bertiga.

Namun ada yang menarik perhatian kami hari ini.  Yang menjadi imam bukan Mbah Hambali seperti biasanya. Kali ini imam kami masih agak muda. Orangnya tinggi, berkopyah bundar putih dan bersorban..
Mungkin Mbah Hambali sedang pergi, pikirku.

“Allahu Akbar..”
Suara imam memberi tanda sholat dimulai. Tapi hei, mana Yayan? Dari tempat wudhu dia tidak juga segera sholat.

Aku segera takbiratul ihram. Berdiri tenang di belakang imam bersama Bobi dan Mas Jojo. Ketika mulai membaca Fatihah dalam hati tiba-tiba Yayan berdiri di sebelahku. Syukurlah, pikirku.

Ketika rakaat kedua tiba-tiba ada yang terbang berputar-putar di depanku. Aku mendongak.  Astaga.. capung! Pasti punya Yayan, pikirku.  Bukankah punya Bobi dan punyaku sudah dilepas?

Capung mulai berputar, hinggap kesana-kemari dengan benang masih terikat di ekornya. Sholatku mulai kacau. Mataku tak henti menatap pergerakan si capung. Dan  kurasakan Yayan di sebelahku mulai gelisah.

Saat tahiyat akhir capung melakukan manuver berani dengan hinggap di kopyah imam sholat. Astaghfirullah…!  Sholat kami batal sudah.

Aku dan Bobi menoleh ke Yayan sambil menunjuk si capung. Pelan-pelan Yayan meraih benang dan mencoba menariknya. Nakalnya, si capung tak mau menurut sehingga kopyah imam bergerak-gerak.

Kulihat Yayan begitu pucat, apalagi berbarengan dengan itu imam menoleh, mengucap salam  sambil menatap Yayan dengan tajam meski cuma sekilas.

Saat dzikir habis sholat, tubuh kami begitu gemetar. Sungguh, aku tidak pernah merasakan ketakutan seperti hari itu

Habis sholat satu per satu kami salim pada imam dengan begitu tawadhuk. Ya, itu adalah wujud permintaan maaf atas kenakalan kami.

Yayan pulang paling akhir. Temanku yang sangat pemberani itu tiba-tiba tampak lemah tak berdaya. Tangan kanannya masih erat memegang benang agar capung tidak membuat ulah lagi. Sementara di depannya imam sholat duduk tenang sambil menatap Yayan.

Mengaji, sumber gambar: Bersedekah.com

Entah bagaimana lanjutan cerita hari itu kami tak tahu. Yang jelas sejak saat itu kulihat Yayan begitu rajin mengaji di langgar.

Ya, sebuah kejutan manis bagi kami semua, ternyata imam sholat  adalah guru ngaji kami yang baru pengganti Mbah Hambali yang sudah mulai sepuh. Namanya Ustad Imam dan sangat memperhatikan Yayan.

Sekarang jangankan tidak datang mengaji, terlambat saja Yayan tidak berani.

Tentu saja. Sebagai hukuman atas masalah capung itu, Ustad Imam memberi tugas Yayan untuk qomat setiap hari sebelum sholat Ashar dimulai.

Sekian..

Salam Ramadhan 😊



Di Makam Bapak

Suasana TPU demikian sepi. Hari masih begitu pagi. Pohon-pohon besar yang tumbuh di sepanjang jalan menuju makam daunnya bergoyang-goyang tertiup angin. Sesekali burung- burung kecil mencerecet sambil terbang dari satu pohon ke pohon yang lain.

Berdua kami berjalan di antara makam- makam. Dekat mushola TPU langkah kami berhenti. Kami memandang ke sana kemari dengan lebih teliti.

“Seingatku di daerah sini, Mas,” kataku sambil terus memeriksa nisan-nisan di sekitarku. Mas diam. Matanya tetap  memperhatikan sekitarnya lebih seksama.

“Iya.., aku juga ingat tak jauh dari mushola ini.. ,” jawab Mas kemudian.  Rasa penasaran terus membuatnya mencari-cari seperti halnya aku.  Membaca nama demi nama dari nisan-nisan tersebut.

“Masa hilang?” kataku resah.
Mas mendesah. Ada kesedihan tergambar di wajahnya. Hari ini seperti tahun- tahun terakhir ini  kami gagal menemukan makam bapak.

Bapak meninggal di akhir tahun 90 an. Cukup lama. Saat itu aku dan Mas kira-kira di awal usia dua puluhan.

Jarak usia yang tak terpaut jauh membuat kami begitu akrab. Kemana-mana bersama, sering juga bersama bapak.

Tapi itu dulu. Sejak bapak meninggal dan kami berumah tangga semua tiba-tiba berubah.

Aku tinggal di Malang bersama ibuk sementara Mas merantau dan akhirnya tinggal dengan keluarganya di luar kota.

Komunikasi jarang kami lakukan. Ya, kami sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Merintis keluarga dari nol bukan hal yang mudah dan itu membuat kami konsentrasi dengan kehidupan kami masing-masing.

Akan halnya ibuk, beliau menyusul bapak beberapa tahun kemudian. Ya, kondisi kesehatan ibuk terus menurun sejak kepergian bapak.

Kepergian bapak dan ibuk membuat kami makin jarang bertemu. Bahkan lebaran pun kadang kami tak saling berkunjung. Saat lebaran Mas berkumpul dengan keluarga besar istrinya, demikian juga aku.

Berkunjung ke makam hanya kami lakukan menjelang puasa dan lebaran. Meski sesudah sholat kami selalu mendoakan   ibuk  dan bapak.

Sejak kepergian ibuk kami tak pernah mengunjungi makam bersama-sama. Sungguh, berbagai kesibukan membuat kami menyepelekan kebersamaan di antara kami. Padahal kebersamaan itu dulu selalu mengisi hari kami.

Ketika tiba-tiba makam bapak tak ditemukan sekitar empat tahun yang lalu,  kami mulai saling menyalahkan. Kami memang belum memasang kijing untuk makam bapak.

Sumber gambar: suara.com

“Kamu kan yang di Malang? Kok bisa hilang?”
“Kalau jarang diziarahi ya nanti dipakai orang lain..,”kata Mas saat itu.
“Lha Mas kan juga anak bapak? Kenapa Mas jarang ziarah?” balasku tak mau kalah. Sungguh, rasa penyesalan dan amarah membuat aku merasa ‘tak terima’ saat itu.

Sejak saat itu komunikasi di antara kami semakin jarang. Ketika ziarah ke makam ibuk, Mas biasanya tidak berkabar padaku. Demikian juga aku. Tak pernah sekalipun menyinggung masalah makam bapak atau ibuk. Biarlah ziarah menjadi urusan kami sendiri-sendiri.

Namun tahun ini beda. Usia yang semakin bertambah mungkin membuat kami lebih bijak untuk menerima dan memaafkan segala kekurangan kami.

Menjelang Ramadhan tahun ini tiba-tiba  Mas datang ke Malang dan mengajakku ziarah ke makam ibuk dan bapak. Dan itu yang membawa kami berdua ke TPU pagi ini.

Makam ibuk lebih mudah dicari karena lokasinya dekat dengan makam keluarga yang lain. Makam bapak yang agak jauh. Dan celakanya ‘hilang’ pula.

Kenyataan yang menyedihkan. Makam bapak sendiri sampai hilang!.
Anak macam apa kami ini, sesalku.

Lelah mencari kamipun berhenti. Dalam jarak antara beberapa nisan kami duduk terpekur dalam diam.

Doa-doa mulai kami langitkan. Meski makam bapak tak ditemukan bukankah Allah maha mendengar semua doa?

Selesai berdoa mataku mulai membasah. Rasa sesal kembali menelusup dalam hati.

Sungguh rasa berdosa ini selalu muncul  sejak makam bapak tak ditemukan.

Sumber gambar: Hi tekno.com

Bapak, maafkan kami.. betapa  kami tak bisa hanya  sekedar untuk  merawat makam bapak.

Diam-diam kuamati Mas yang masih khusyuk dalam doanya.
Mas tampak semakin tua. Guratan-guratan  usia mulai menghiasi wajahnya. Beberapa rambut putih mulai bermunculan tak ubahnya diriku.

Ketika Mas mengusap wajahnya sebagai tanda selesai berdoa, aku segera berdiri  untuk segera meninggalkan makam.

Tapi entah mengapa seakan ada yang menahan langkah kakiku. Seperti ada yang mencegahku meninggalkan area pemakaman.

“Jangan pulang dulu.., cari lagi..,” bisik hatiku.

Kembali kuamati nisan di sekitarku satu persatu.
“Ayo.. ,” kata Mas yang sudah menungguku.
“Sek.. tunggu..,” kataku pada Mas.

Mataku tiba-tiba berhenti pada nisan tak bernama tidak jauh dari tempatku berdiri. Segera kuhampiri nisan itu. Rupanya tertutup lumut yang lama sudah mengering.

“Kenapa?” tanya Mas heran.
“Jangan-jangan ini Mas?” kataku sambil membersihkan nisan itu. Mas segera mendekat sambil  membawa potongan batu kecil untuk membantuku. Dan .. tiba tiba sebuah tulisan muncul di situ. Nama bapak!

“Ini kan tulisanku, Dik,” kata Mas gembira. Dengan gerakan yang lebih cepat nisan kami bersihkan. Ada nama, lahir dan wafat bapak di situ. 

Kami saling berpandangan. Rasa haru dan syukur berpadu jadi satu. Melihat tulisan itu tiba-tiba aku ingat saat meninggalnya bapak. Ketika itu Mas membuat tulisan itu sementara aku memegang kaleng cat kecil di sebelahnya. Bagaimana warna hatiku saat itu, sungguh aku masih bisa membayangkannya.

Kami kembali berdoa. Kini benar- benar di depan makam bapak. Lama.

Ketika matahari semakin naik kamipun meninggalkan TPU. Berbeda dengan tadi, suasana tak begitu sepi. Beberapa pengunjung TPU mulai berdatangan.

Berdua kami menuju pintu keluar.
Mas merangkul pundakku seperti dulu. Hatiku begitu hangat sekaligus terharu. Betapa kebersamaan diantara kami sangat terabaikan selama ini.