Mozaik Indah Lebaran

Hangatnya suasana Lebaran, dokumentasi pribadi

Jam sudah menunjukkan sekitar pukul delapan. Suasana lalu lintas kota Malang tak begitu ramai. Kendaraan kami terus melaju menuju terminal Arjosari.

Di lebaran hari keempat itu, kami berlima akan mengunjungi keluarga adik di Mojosari. Sebuah perjalanan tahunan yang menyenangkan.

Seperti tahun kemarin perjalanan dilakukan dengan bus. Karena harus berhenti di Japanan lalu oper, kami tak bisa naik bus patas. Bus patas langsung berhenti di Surabaya lewat tol. Karenanya kami baru bisa turun di Bungurasih Surabaya.

Rencananya sebelumnya kami ingin naik kereta api ke Bangil, lalu naik bus kecil ke arah Mojosari. Tapi ternyata bus arah Bangil berangkat jam 05.10 pagi. Wah, ruwet sekali pasti persiapannya. Apalagi dalam rombongan kami ada dua anak kecil.

Terminal Arjosari, dokumentasi pribadi

Dekat arah terminal, di daerah Polowijen kepadatan lalu lintas mulai terasa. Lebih- lebih ketika kami memasuki gerbang terminal.

Kedatangan kami mulai disambut oleh pencari penumpang dan penjual makanan.
“Jember? Probolinggo? “
“Boyo… Boyo..?”
“Yang anget..yang anget.. lumpia..lumpia . Sarapan dulu .. sarapan ..”
“Kacang..kacang .. mente..mente…”

Seorang pencari penumpang mendekati kami.
“Mbak, Ten pundi?
“Japanan , Mas.!” jawab saya singkat sambil melihat lalu-lalang bus yang keluar masuk.

Depan terminal, dokumentasi pribadi

“Oh Japanan.., bus hijau Mbak itu..” kata Mas nya sambil menunjuk bus hijau bergambar panda besar dengan rute Malang-Surabaya.

Lalu-lalang orang di jalan begitu ramai. Banyak yang masih mengenakan baju lebaran. Mungkin juga seperti kami yang ingin menuntaskan silaturahmi ke sanak famili.

Bergegas kami masuk bus. Penumpang sudah hampir penuh. Untunglah kami semua masih kebagian tempat duduk. Semua dalam kapasitas yang wajar, dalam artian semua duduk, kecuali kondektur yang jalan ke sana-kemari untuk menarik uang karcis.

Melalui beberapa halte beberapa penumpang mulai naik dan turun. Jumlah penumpang yang naik, masih lebih banyak daripada yang turun. Alhasil penumpang dalam bus mulai berjubel dan banyak yang berdiri karena tidak kebagian tempat duduk.

Jika saat masuk bus lagu dangdut koplo dari sound masih bisa kami dengar, mulai Singosari lagu-lagu mulai tenggelam oleh suara ramainya penumpang.

Penumpang mulai banyak, dokumentasi pribadi

Wes kebek Pak .,” protes seorang ibu ketika penumpang masih saja dinaikkan.
“Belakang, Mas,” kata kondektur pura-pura tidak mendengar protes tersebut sambil mengarahkan penumpang yang baru masuk.

“Ayo..ayo… Kalem..kalem…,” teriak kondektur.

Suasana semakin berdesakan ketika kondektur harus lewat untuk menarik karcis.
Ampun .. meski saya duduk, tapi badan saya terdesak oleh ransel penumpang lain.

“Kalem..kalem…,” Teriak kondektur lagi. Maksudnya ia minta diberi jalan supaya bisa lewat.

Kalem..kalem apane… Podho lemune ngene..,” kata ibu protes tadi. Rupanya beliau merasa jengkel karena protesnya tadi tidak ditanggapi oleh sang kondektur.

Sontak kami melirik ke arah ibu dan kondektur tersebut yang ternyata sama sama berbadan besar.
Penumpang lain termasuk saya senyum- senyum mendengar dialog tersebut.

Ya, suasana yang demikian ramai membuat dialog-dialog lucu kadang terucap. Meski sebenarnya dialog tersebut adalah sebuah ungkapan kejengkelan.

Calon penumpang di halte, dokumentasi pribadi

Di halte-halte berikutnya penumpang sudah tak dinaikkan. Lha bagaimana bisa naik ? Lorong bus sudah penuh penumpang. Tampak banyak calon penumpang di halte menunggu dan menyambut kedatangan bus dengan antusias. Namun mereka kembali kecewa ketika bis sudah penuh dan tidak bisa naik.

Ya, hari keempat Idul Fitri bersamaan dengan limpahan arus balik. Cuti lebaran tinggal sehari. Tentunya banyak yang harus kembali ke rumah untuk persiapan aktivitas normal seperti biasanya.

Di Japanan kami segera turun dari bus besar untuk oper bus yang lebih kecil ke arah Mojosari. Kami namakan kendaraan ini bus kuning karena mayoritas berwarna kuning.

Mas pencari penumpang mendekati kami.
“Mau ke mana Mbak?”
“Mojosari,”
“Oke.. Mojosari, bus depan.. siap berangkat!” kata Si Mas bersemangat.

Kami segera naik bus kuning. Dan tak berapa lama buspun melaju menuju Mojosari. Seperti biasa dengan kecepatan tinggi. Kadang kami mengatakan ini ‘bus tercepat di dunia’. Jalannya yang begitu kencang sampai membuat kaca jendelanya berbunyi.

Kira-kira habis Dhuhur kami sampai di Mojosari. Sambil menunggu jemputan adik, kami mampir ke warung rujak tidak jauh dari terminal Mojosari. Ya, setelah berhimpitan di kendaraan ngobrol dengan ibu penjual rujak ternyata mengasyikkan juga.

Ibu penjual rujak, dokumentasi pribadi

Dibungkus mawon nggih, Buk,” kata saya.
Inggih, pinarak rumiyin..,” kata Bu penjual ramah.

Aroma bumbu kacang, petis, cabe, pisang kluthuk yang menguar menimbulkan rasa segar. Dengan cekatan ibu penjual meracikkan pesanan kami.
Dari obrolan kami ternyata beliau sudah lama sekali berjualan rujak. Mulai saat anaknya berumur dua tahun sampai sekarang beliau sudah bercucu enam.
Wow, pantas.. rujaknya mantap sekali.

Tak berapa lama tampak adik sudah datang untuk menjemput kami. Perjalananpun kami teruskan ke perumahan Pungging Mojosari.

Segala kelelahan seakan terbayar ketika suasana lebaran yang hangat plus aneka kue dan segelas teh hangat menyambut kedatangan kami.

Kue lebaran, dokumentasi pribadi
Kehangatan lebaran, dokumentasi pribadi

Aih, Lebaran selalu punya banyak cerita. Lebaran dengan segala pernak- pernik nya adalah mozaik indah dari masa ke masa. Semoga di tahun-tahun mendatang mozaik indah Lebaran akan selalu mengisi bingkai kenangan kami.

Selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin

Yuli Anita

2 Comments

  1. Erna Rudi N. A

    Decak kagum selalu meluncur setiap baca goresan yuli anita

Leave a Comment

Your email address will not be published.

70 views