Mbak Menik menatap suaminya dengan dongkol. Betapa tidak? Sejak pagi hingga jam sudah menunjukkan pukul delapan Mas Marno masih berasyik-asyik dengan ayam -ayam katenya. Ayam ayam kecil itu benar benar membuatnya cemburu. Jealous kalau kata anak sekarang.
Yang memberi makanlah.. Memberi vitamin… Bahkan mengajak bicara. Ya ampuun. Gemes melihatnya.
Padahal bangun tidur yang pertama dilakukan Mbak Menik di dapur adalah membuatkan kopi suami tercinta.
Tapi sesiang ini ia tak juga disapa.
“Duh Mas, pitiiik ae, ” protesnya.
“Sik… Diluk.., ” kata Mas Marno tanpa menoleh. Mbak Menik menatap jam dinding. Duuh, Pak Mus penjual sayuran sudah hampir datang ini, pikirnya. Apalagi persediaan bumbu habis, minyak nipis, Tempe dan tahu apalagi.
Mas Marno kembali menghisap rokoknya. “Buriiik…, ” katanya sambil menjentikkan jarinya pada si ayam. Yang dipanggil seakan mengerti dan dengan genitnya mendekati Mas Marno.
Mas Marno tertawa senang sambil menyebarkan jagung halus yang langsung dipatuk oleh Si Burik.
“Ayo, kalian mau ikut? ” kata Mas Marno pada empat ayam yang lain. Semua langsung merubung ikut makan jagung halus yang disebar.
Dari kelima ayamnya Si Burik paling disayangi Mas Marno. Tubuhnya kecil montok dan bulu-bulu nya yang berwarna campuran hitam dan putih berkilauan tertimpa sinar matahari.
“Mas, masak apa ini? ” tanya Mbak Menik sekali lagi.
Mas Marno menoleh sekilas. “Sembarang wes… Pokok ada sambel.., “jawabnya.
“Lha uangnya?” kata Mbak Menik gemas.
“Bon dulu sama Pak Mus.. Nyatet, ” jawabnya ringan.
Mbak Menik semakin jengkel. “Nyatet.. Nyatet.. Catetanku sudah banyak, Mas, ” katanya setengah menangis.
Tanpa banyak kata ia bergegas menuju pick up di jalan yang berisi aneka belanjaan. Bicara dengan suaminya saat seperti itu percuma. Hanya bikin naik darah saja.
“Pak Mus, nyatet nggeh.., “kata Mbak Menik sambil meraih bayam dan tempe.
“Lha monggo…, ” jawab Pak Mus ramah. Ia sudah lama menjadi langganan ibu-ibu di kampung Manggis. Tidak ada yang nakal saat berhutang, yang penting administrasi beres, tak ada masalah.
Mbak Menik menyodorkan belanjanya ke Pak Mus untuk dihitung. “Beres, duapuluh ribu, catet nggih? “
“Nggih Pak Mus,” jawab Mbak Menik sambil bergegas meninggalkan Pak Mus. Duuh, sungkan sebenarnya.. Tapi lha bagaimana lagi. Masak tidak makan, pikirnya.
“Mbak Menik, tunggu! ” sebuah suara tiba-tiba menghentikan langkahnya.
Mbak Rena? Tumben?
Setelah berbasa-basi keduanya terlibat dalam pembicaraan yang serius. Sedikit berbisik-bisik dan…Cling, wajah Mbak Menik tiba-tiba berseri-seri.
“Nanti malam? ” tanya Mbak Rena memastikan.
“Beres.., ” senyum Mbak Menik menutup percakapan keduanya.
Pagi kembali merekah. Mas Marno sedang menikmati kopinya. Tak seperti biasanya istrinya tak banyak protes. Senyumnya tampak begitu manis.
“Mau dimasakkan apa? ” tanya Mbak Menik sambil duduk di depan suaminya.
“Aku kok kepingin lodeh ya? ” jawab Mas Marno senang. Pagi ini cuaca kelihatan begitu bersahabat.
“Lodeh, mendol, bakwan? “tanya Mbak Menik lagi.
“Wah, sip itu.., “
Dari kejauhan suara klakson pick up Pak Mus terdengar. Mbak Menik bergegas menuju jalan besar, apalagi ketika dilihatnya Mas Marno menuju kandang ayam-ayam katenya.
Di belokan jalan, Mbak Rena tersenyum menyapanya. ” Adikku seneng lho.. Katanya cantik barangnya.. Ini kurangannya semalam ya.. ,” katanya sambil menyodorkan uang seratusan ribu.
Mbak Menik segera memasukkan uang ke saku. Bergegas keduanya menuju pick up Pak Mus.
Ada senyum di wajah Mbak Menik.
Ya, seratus dua puluh lima ribu harga yang pantas untuk ayam kate secantik Burik.
- Merajut Toleransi Melalui Pelaksanaan Sekolah Moderasi Beragama - December 7, 2024
- Mading Sekolah: Media Informasi, Menggiatkan Literasi dan Wadah Berekspresi - December 6, 2024
- Pemberdayaan Perempuan Aisyiyah Melalui Lomba Olahan Pangan Lokal dan Gerakan Lumbung Hidup - December 3, 2024
Hahahaha
Ada aja kan ide segarnya