Sebuah Siang yang Manis Bersama Es Puter

Minggu siang itu hawa terasa begitu gerah. Mungkin karena mendung yang terus menggantung sementara hujan belum juga turun.

 Setelah seharian sibuk membuat video untuk persiapan sebuah event lomba, kami berdiskusi di halaman sekolah tentang langkah lebih lanjut untuk memenuhi tugas dari event tersebut.

Ting ting…ting ting….

Sebuah gerobak berwarna putih tiba-tiba melintas. Gerobak dengan bagian depannya banyak gelas yang ditata dengan cantik. 

“Pak.., tumbas..,” 

Sebuah teriakan membuat si pemilik gerobak mendatangi kami yang sedang berada di halaman sekolah.

“Es Puter Moro Seneng” sebuah tulisan besar berwarna merah ada di bagian depannya.

“Pinten Bu?”

Tanya Si penjual ramah. 

Setelah teman kami menyebut sebuah angka tertentu bergegas si Bapak menyiapkan cup-cup plastik kosong dan mengisi dengan bahan pelengkap es puter.

Potongan roti tawar, agar-agar dan bubur mutiara mulai dimasukkan dalam cup yang tersedia. Warna merah, putih, pink dan hijau berpadu yang kemudian ditutup dengan es puter yang berwarna kecoklatan. Hmm, maknyus tenan.

Cerita tentang Es Puter

Es puter, dokumentasi pribadi

Es puter adalah salah satu dessert khas Indonesia yang sangat populer. Kuliner ini sering dijual di pinggir jalan dengan gerobak ataupun sepeda.

Penjualnya biasanya menggunakan tabuh kecil semacam gong sehingga ada bunyi dung.. dung atau tung… tung, sehingga es puter dinamakan es tung tung, atau es dung dung. Namun berbeda dengan kali ini, yang dibunyikan adalah gelas dengan menggunakan sendok sehingga mengeluarkan bunyi ting..ting…

 Es puter sudah sejak lama ada di Indonesia. Konon es ini tercipta karena keinginan masyarakat Indonesia untuk menikmati es krim yang tidak kesampaian.

Es krim sendiri diperkenalkan oleh orang Belanda pada pribumi. Es krim tersebut harganya mahal karena menggunakan susu sebagai bahan dasarnya.

Untuk mengatasi hal tersebut dibuatlah es  dengan menggunakan bahan-bahan yang lebih terjangkau.

Pembuatan es puter tidak menggunakan susu tetapi santan. Ya, santan adalah bahan asli Indonesia sangat mudah didapat sehingga es puter ini menjadi jajanan yang murah meriah.

Penamaan es puter ini diambil dari cara pembuatannya. Es puter dibuat dengan cara 

 memasukkan semua adonan yang terdiri atas santan, gula, garam dan vanili bubuk ke dalam sebuah wadah tabung yang diselimuti dengan es batu dan garam.

Wadah tabung ini akan terus diputar sambil mengaduk adonan. Nah, proses inilah yang membuat kuliner ini akhirnya dinamakan es puter.

Berbeda dengan es krim yang creamy dan lembut, es puter terasa lebih kasar dan segar. Dalam penyajiannya es puter kadang dicampur dengan tambahan yang lain seperti meses, nangka, agar agar, roti atau mutiara.

Gerobak es puter Moro Seneng, dokumentasi pribadi

Sambil menunggu es puter diracik, saya sempat berbincang bincang dengan bapak penjualnya.

Menurut pengakuannya, bapak ini berjualan es puter di sekitar SMP Negeri 3 sejak tahun 1986. 

Luar biasa. Berarti sudah 39 tahun beliau menekuni usaha berjualan es puter ini.

Meracik es puter, dokumentasi pribadi

“Saat itu es puter berapa harganya, Pak?” tanya saya.

“Wah, Tasik 150 Bu..,” katanya sambil tertawa. 

“Wow,  sudah naik 30 kali lipat ya,” kata saya. Ya, harga satu cup es puter sekarang  lima ribu rupiah

Perbincangan langsung berhenti ketika enam cup es puter tersaji manis di meja kami. Luar biasa. 

Rasanya yang gurih, dingin dan sedap membuat siang itu terasa sedikit segar

Setelah merapikan kembali dagangannya, bapak dengan gerobak putih itu akhirnya meninggalkan sekolah untuk melanjutkan perjalanannya. 

Menikmati es puter, dokumentasi Jojo

Sesendok demi sesendok, manisnya es puter masih setia menemani perbincangan kami siang itu. Obrolan singkat dengan bapak penjual es puter siang itu membuka mata kami bahwa di balik kesederhanaan es puter, tersimpan nilai-nilai ketekunan dan warisan budaya kuliner yang telah menghidupi dan menyegarkan banyak generasi. 

Esnya mungkin habis dalam beberapa menit, namun kisah tentang “Moro Seneng” dan bapak penjualnya akan setia dalam ingatan kami.

Yuli Anita

Leave a Comment

Your email address will not be published.

4 views