Sumber gambar: Yoursay. id

“Ssh…Cup Le, ” bisik Mbak Sur lembut sambil menggoyang-goyangkan Danang dalam gendongannya .

Bayi berumur tujuh bulan itu meringkuk dengan napas yang agak memburu. Demam membuat badannya begitu panas.

” Sudah dibawa ke Puskesmas, Mbak? ” tanya Mbak Menur tetangganya.
“Sudah, kemarin, ” jawab Mbak Sur sambil terus menenangkan Danang yang makin gelisah.
“Apa kata dokter? ” tanya Mbak Menur lagi.
” Disuruh banyak makan, minum, memang musimnya flu .., “
“Dikasih sirup? “
“Bukan.. Puyer.., “
“Sekarang usum DB lho, “
Kata-kata Mbak Menur membuat Mbak Sur makin gelisah.

Danang menangis lagi
“Mbak, tak tidurkan dulu ya.., ” kata Mbak Sur pamitan dan segera masuk rumah.
“Iya Mbak.., ” jawab Mbak Menur sambil masuk ke rumahnya yang persis bersebelahan dengan rumah Mbak Sur.

Di ruang tengah Mas Pardi sedang asyik dengan tabloidnya. Bal-balan. Dari hari ke hari pulang kerja langsung duduk dan baca. Itu saja kegiatannya. Bahkan anak sakitpun kadang tidak ditoleh.

“Mas, mbok anaknya dilihat.., ” kata Mbak Sur jengkel. Masak anak sakit dibiarkan saja, pikirnya. Tidak bingung sama sekali.

“Masih panas ta? ” tanya Mas Pardi sambil meletakkan korannya. Dipegangnya dahi Danang. Si Bayi menggeliat.
“Sudah obatan kan? ” tanya Mas Pardi lagi.
“Barusan…, biar tidur dulu wes, ” kata Mbak Sur sambil masuk kamar.

Sepuluh menit menemani si bayi membuat Mbak Sur bablas ketiduran. Seharian ia banyak menggendong Danang yang rewel sehingga badannya terasa begitu capek.

Mas Pardi melihat jam dinding. Ketika jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, bergegas diambilnya kresek kecil. Isinya kacang kulit dan rokok. Dengan pasti ia segera keluar menuju rumah tetangga sebelah.

“Sudah main, ta? ” tanya Mas Pardi pada Mas Tarno tetangganya.
“Masih iklan, ayo masuk, “
Keduanya duduk di depan TV. Di sana sudah siap gorengan dan akua.
“Tak tambahi.., ” kata Mas Pardi sambil meletakkan kreseknya. Mas Tarno tertawa senang. Sepak bola dan kacang…. pasangan yang benar- benar klop. Nonton bola terasa gayeng sambil nyamil kacang.

Televisi Digitec empat belas inchi benar-benar kotak ajaib yang menghipnotis keduanya. Mas Pardi dan Mas Tarno begitu khusyuk menatap para pemain yang begitu piawai menggocek bola.

Sebenarnya sudah lama Mas Pardi ingin punya televisi sendiri. Ia ingin bisa nonton sepak bola yang selama ini hanya bisa ia nikmati lewat tabloid atau koran.
Tapi begitulah. Tiap kali mengumpulkan uang, uangnya selalu katut untuk keperluan yang lain, hingga televisi yang diidam-idamkan belum juga bisa terbeli.

Tapi tak apa. Kebetulan Mas Tarno tetangganya bisa membeli TV. Karena daya listrik di rumahnya kurang, Mas Tarno mengambil listrik dari rumah Mas Pardi untuk menghidupkan televisi.

Nyalur kata orang kampung. Meski menurut aturan tidak boleh, yang penting tidak ketahuan karena rumah mereka hanya berjarak satu gang sempit. He..he.. Simbiosis mutualisme katanya.

Sebagai gantinya Mas Tarno sedikit memberikan uang listrik ke Mas Pardi tiap bulan. Berapa besarnya? Ah, itu urusan istri-istri mereka. Mbak Sur dan Mbak Menur. Yang penting semua lancar, semua senang.

Malam semakin larut. Danang kembali rewel. Mungkin lapar karena tadi sore belum sempat makan.
“Ayo maem dikit ya Le… ,”
Mbak Sur menggendong Danang sambil membawa mangkuk kecil berisi bubur instan .

“Ayo, sedikit lagi…, “
Meski sulit, akhirnya bubur dalam mangkuk habis juga, sekaligus puyer.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan lebih. Karena gerah Mbak Sur mengajak Danang mencari udara segar di depan rumah.
Sejuknya angin juga kerja obat membuat Danang mulai mengantuk.

Mbak Sur tampak lega, meski juga resah. Ya, ibu mana yang tak gelisah jika anaknya sakit ? Dielusnya kepala si kecil yang mulai terkantuk-kantuk.

Gemerisik suara pertandingan bola terdengar dari rumah sebelah. Ah ya, ini kan malam Senin? Waktunya Liga Italia, Mas Pardi pasti di sebelah, pikir Mbak Sur.

Sesekali Mas Pardi suka nobar dengan teman-temannya di poskamling. Tapi sejak Mas Tarno punya televisi nobarnya pindah ke sebelah.

Ketika Danang semakin tenang Mbak Sur beranjak masuk rumah. Tiba tiba..
“Ayo.. Ayo… Oper.. !”
“Apik wes, goool!”
“Gool…!! “
teriakan terdengar silih berganti dengan begitu kerasnya. Bahkan ‘gol’ yang terakhir membuat Danang terlonjak dalam gendongan.

“Huaaaa…! ” teriak Danang ketakutan. Bayi itu menangis keras-keras.
“Astaghfirullah..! Kebacuut…,”teriak Mbak Sur gemas.

Kejengkelannya pada Mas Pardi kian menjadi. Sudah anak panas tidak ikut nunggu, ditinggal nonton bal-balan, teriak-teriak pula.

Tanpa banyak cakap Mbak Sur masuk rumah. Ia tahu benar apa yang harus dilakukan. Dilepasnya steker yang menghubungkan TV rumah sebelah dengan rumahnya. Steker itu tersembunyi di dekat pintu dapur.

Pedhot wes, pikirnya puas.

“Lhoooo! “
“Waduh, mati…! “
teriakan gembira di rumah sebelah langsung berubah jadi kecewa.

Bergegas Mbak Sur masuk ke kamar dan segera menutup pintu.

Tak berapa lama ada sedikit suara kesibukan dari arah dapur.

“Lepas ya cop- copannya? ” tanya Mas Tarno.
“Iya, paling dipancal kucing ini tadi.., “jawab Mas Pardi.
Sementara keduanya sedang sibuk memeriksa steker dan stop kontak, Mbak Sur cepat-cepat memejamkan mata. Senyum kemenangan tergambar jelas di wajahnya.


Yuli Anita

Leave a Comment

Your email address will not be published.

35 views