Diana membuka notes tebal di hadapannya. Benda yang selalu setia menemani hari-harinya. Notes coklat besar yang penuh berisi catatan pesanan kue dari para pelanggannya.
Matanya terus menjelajahi tulisan di tanggal-tanggal terakhir. Tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada tulisan Bu Tejo cake marmer 8 untuk tanggal …
Deg…. “Mateng aku…, ternyata cake marmer nya besok diambil, padahal besok pesanan lumpur Mbak Miska harus jadi,” pikirnya.
“Kok bisa lupa se…,” pikirnya gemas.
Diliriknya jam dinding di atas sofa. Sudah menunjukkan pukul 11 malam. Jam segini baru saja ia selesai membersihkan dapur setelah sejak pagi tadi membuatkan kue kering kemasan untuk cindera mata sebuah acara pernikahan.
Pikirannya langsung menerawang membayangkan stok terigu, kentang, telur dan gula dapurnya.
Setelah sedikit mereka-reka hitungan, Diana langsung bernafas lega. “Aman wes,” pikirnya. Cukup untuk membuat cake dan lumpur besok.
Diana menghembuskan nafas panjang. Badan rasanya lelah, tapi lega. Pesanan kuenya besok pagi diambil, berarti ada uang masuk.
Ya, beberapa hari ini Yeni minta seragam baru karena roknya terlalu pendek.
Maklumlah, anak usia SMP memang pertumbuhannya pesat. Sepertinya baru kemarin anak itu tampak mungil dengan seragam merah putihnya.
Sekarang di tahun kedua SMP tiba-tiba saja badannya mekar dan tingginya hampir sama dengan ibuknya.
Diana memejamkan matanya. Besok pagi ia harus sudah mulai ‘umek’ lagi di dapur. Episode cake marmer dan kue lumpur. Cake diambil habis Maghrib, kue lumpur diambil Ashar.
Perpaduan rasa lelah dan kantuk membuat matanya terasa kian berat.
Bunyi jam dinding seperti hipnotis yang pelan-pelan membawanya ke alam mimpi.
***
“Nduk, tolong belikan kardus besar, ” kata Diana pada Yeni, anak perempuan semata wayangnya. Hari sudah menjelang sore. Dapur begitu lekat dengan harum aroma kue.
Di meja makan, kue lumpur dan delapan marmer cake sudah tertata manis.
“Sebentar Buk,” jawab Yeni sambil terus memandang hapenya.
Diana memandang gemas.
“Ayo ta..agak cepet.. sebentar lagi Mbak Miska ke sini, lumpurnya mau buat tahlilan,” tambahnya.
Tanpa banyak kata Yeni langsung berangkat ke toko di seberang jalan.
“Mbak Diana.., assalamualaikum,”
Sebuah suara terdengar begitu renyah menyapa. Mbak Miska, sang pemilik suara langsung masuk rumah. Demi melihat kue lumpur yang ‘menul-menul’ di meja Mbak Miska berseru,
“Walah, cantiknya .. lumpurku.,”
Diana yang sedang memasukkan kue lumpur dalam tenong menghentikan pekerjaannya sejenak.
“Lha iya lah .. yang buat yo cantik kok…, ” katanya sambil tertawa.
“Lebih cantik yang pesen,” timpal Mbak Miska. Tawa keduanya kembali berderai.
Sepeninggal Mbak Miska Diana langsung menuju ke dapur. Sedapnya kopi yang dibuatkan Yeni langsung menggelitik hidungnya dan membangkitkan simpul-simpul syaraf ingatannya.
Ya, ingatan pada kenangan lama yang membuatnya jadi seperti ini.
Hari- hari Diana selalu diwarnai dengan berbagai kesibukan membuat kue. Ya, kue dan kue. Putu ayu, donat, cake , lapis, roti kukus tak henti-henti keluar dari dapurnya.
Aroma dapurnya adalah wujud optimisme dalam rumahnya. Aroma yang menunjukkan bawa roda ekonominya terus berputar
Semenjak berpisah dengan Tarno, suaminya, Diana memutuskan untuk lebih menekuni usaha kuliner. Tepatnya usaha kue, berangkat dari kegemarannya memasak sejak masa sekolah.
KDRT, sebuah kata yang klise. Tapi itulah yang menyebabkan ia berpisah dengan suaminya.
Bayangkan, siapa yang tahan jika tiap pulang kerja, wajah suami selalu sumpek, marah-marah, bahkan suka membanting berbagai barang yang ada di dekatnya?
Kemarahan Tarno kadang dengan alasan yang tidak jelas. Masalah pekerjaan, capek, dan yang terakhir ia mendengar cerita dari teman- temannya bahwa Tarno punya ‘simpanan’, di luar kota.
Ooh, makanya Mas Tarno sering tidak pulang dengan berbagai macam alasan, pikirnya.
Sebagai seorang wiraswasta yang mulai berjaya Tarno sering keluar kota dan mempunyai banyak koneksi di mana-mana. Kondisi tersebut akhirnya membuatnya ‘kecantol’ orang lain yang lebih cantik dari Diana tentunya.
Sakit hati Diana mendengarnya. Harga dirinya meronta. Sungguh, dikhianati seperti itu membuat stok kesabarannya habis. Emosinya memuncak, apalagi tatkala pulang dari kerja Tarno tiba-tiba marah- marah sambil membanting alat- alat dapur yang ada di sekitarnya.
Begitu Tarno meraih panci serbaguna yang ada di meja dan akan membantingnya, Diana langsung berteriak. “Stop, sudah cukup Mas..,tidak usah mbanting panci itu. Kreditannya belum lunas, kalau kamu sudah tidak suka sama aku, ‘buyar’ saja wes,”
Ya, panci serbaguna, alat memasak yang sudah lama diimpikannya itu baru saja dibelinya dari PKK bulan kemarin.
Buyar. Mendengar kata itu Tarno seketika menghentikan tangannya dan keluar rumah.
Diana menangis sambil memunguti barang pecah belah yang berserakan di lantai. Semua ambyar, seambyar hatinya.
Yeni yang sejak tadi bersembunyi di dalam kamar langsung berlari memeluk ibuknya.
Sejak hari itu Tarno semakin jarang pulang ke rumah dan proses perceraian antara keduanya terus dilakukan.
Setelah proses yang lumayan panjang, merekapun resmi bercerai. Diana begitu bersyukur. Ia merasa lebih plong karena tidak selalu dikejar rasa takut akan amarah suaminya setiap hari.
Di satu sisi, secara ekonomi ia benar- benar harus mulai dari nol. Uang dari Tarno tidak pernah diberikan kepadanya dengan berbagai alasan. Tarno bahkan seperti lupa pada Yeni yang saat itu masih duduk di kelas tiga SD.
Sejak saat itu kebutuhan sehari-hari, bayar air, listrik dan sekolah Yeni menjadi tanggungan Diana.
Dalam kondisi seperti itu membuat kue menjadi satu- satunya harapan. Hobi yang yang agak lama ditinggalkannya, kini akan coba ditekuninya kembali.
Dengan sedikit tabungannya Diana mengambil kursus membuat kue dan sesudahnya ia mulai berani menerima pesanan kue dalam berbagai varian.
Hasil tidak akan mengkhianati usaha. Karena ketekunannya, namanya semakin berkibar. Dalam berbagai event di kampung seperti tahlilan, khitanan juga pernikahan, Diana mulai banyak menerima pesanan kue.
Selain itu Diana menjadi pemasok tetap di Toko Kue “Amanah”, satu- satunya toko kue di kampungnya.
Kue donat buatannya sangat terkenal. Siapa yang tak kenal donat buatan Diana yang empuk, lezat juga cantik?
“Mbak Diana.., ambil marmer..,” sebuah suara langsung membuyarkan lamunan Diana. Bergegas, ia membuka pintu.
“Monggo Bu Tejo..,” katanya ramah.
Tanpa diperintah, Yeni langsung keluar membawakan dos-dos berisi cake marmer pada Bu Tejo.
“Wiih… Ayune..,” kata Bu Tejo begitu membuka satu dos kue. Ia tampak begitu puas dengan cake marmer buatan Diana.
“Mbak , untuk Minggu depan pesen lagi ya… empat.. buat oleh-oleh besan di Jakarta,” tambah Bu Tejo sambil memberikan beberapa lembar uang pada Diana.
Diana tersenyum senang, “Inggih, siap…apa sih yang tidak buat Bu Tejo..?”
“Bisa saja,” dengan gayanya yang kenes Bu Tejo berpamitan.
Yeni masuk kamar. Rumah kembali terasa sepi. Diana diam. Ia sungguh tak menyangka, dalam kondisi sulit, ternyata justru hobinya yang bisa menjadi penolong. Ia tidak bisa membayangkan, seandainya tak punya ketrampilan membuat kue, bagaimana nasib keluarga kecilnya?
Alhamdulillah…Terima kasih Gusti, selalu paring rezeki..
Cerpen ini dimuat di Kompasiana Sabtu 10082024
- Latihan Soal Bangun Ruang Sisi Datar - November 19, 2024
- Bangun Ruang Sisi Datar (Kubus, Balok, Prisma dan Limas) - November 18, 2024
- Bangun Ruang Sisi Datar (Panjang Kerangka dan Luas Permukaan) - November 18, 2024