Cerpen Anak-Anak Ramadhan: Gara-Gara Capung

Mentari bersinar begitu terik. Kami bersandar di bawah pohon mangga di tengah lapangan kampung. Tempat favorit kami. Teduhnya pohon mangga yang rimbun membuat suasana panas tidak begitu terasa.

Hari ini lelah sudah kami bertualang. Kami adalah trio Yayan, Bobi dan aku yang kemana -mana selalu bersama. Di mana ada Yayan pasti di situ ada aku dan Bobi.

Bermain bertiga membuat  hari-hari selalu mengasyikkan. Meski kami tahu, orang-orang kampung menganggap salah satu di antara kami, yaitu Yayan,  nakal dan sulit diatur.

Barangkali karena Yayan hanya tinggal berdua dengan ibunya. Bapak Yayan sudah lama meninggal. Ibu Yayan, Bu Surti adalah seorang penjahit. Sehari-hari beliau selalu sibuk dan akhirnya Yayan menyibukkan diri sendiri dengan main tiada henti.

Karena  tak kenal waktu itulah orang kampung memberinya sebutan anak nakal. ‘Kloyongan‘ saja kata para orang tua kami. Saat habis ashar, di mana kami semua harus mengaji, Yayan tetap bermain hingga menjelang Maghrib baru pulang. Entah kemana saja anak itu.

Karena itu sedapat mungkin orang tua selalu mencegah kami bermain dengan Yayan.
Kloyongan saja, tidak tahu waktu , nanti!” begitu selalu kata ibuk mengingatkan aku ketika Yayan tampak menungguku di depan rumah.

Ah, ibuk tidak tahu asyiknya sih… Yayan selalu bisa membuat sesuatu yang biasa jadi istimewa, begitu bisik hatiku.

Ya, membuat sesuatu yang biasa menjadi luar biasa adalah keahlian Yayan.

Pernah kami bermain di sungai mencari ikan kecil-kecil. Kami menamakannya ikan cemplu. Dengan berbekal plastik,  berjam- jam kami bermain di sungai dan bergurau hingga menjelang Ashar.

Tidak puas hanya menempatkannya di plastik, Yayan pulang mengambil ember dan kembali ke sungai. Jadilah kami hari itu berlomba mencari ikan cemplu dan memasukkannya ke dalam ember.

Kami baru berhenti bermain tatkala salah satu dari kami, Anto, kesurupan. Tiba-tiba saja Anto bicara tak tentu arah sambil bertingkah liar. Kami bahkan ditantang berkelahi satu- satu, hingga kami begitu takut dibuatnya.

Segera kami dibantu orang kampung untuk menenangkan Anto. Menurut Mbah Paijo, ‘orang pintar’ di kampung kami, ternyata Anto  ‘kemasukan’, gara- gara kami bergurau dan tertawa- tawa terlalu keras di sungai hari itu.

Bagaimana cerita hari ini?  Petualangan hari ini kami isi dengan mencari bekicot di sekitar sungai. Bekicot-bekicot itu kami jual pada Pak Miseri, peternak bebek di kampung kami. Lumayanlah uang hasil penjualan bisa untuk membeli es gandul buat berbuka puasa nanti sore.

Lelah mencari bekicot membawa kami bertiga duduk di bawah pohon siang ini. Semilir angin membuat mata terasa mengantuk, berkali-kali kulihat Bobi menguap lebar.

Dari kejauhan bunyi gareng pung meramaikan suasana. Kata ibuk, kalau gareng pung sudah terdengar, alamat sebentar lagi musim kemarau.

Membayangkan musim kemarau membuat kerongkonganku tiba-tiba terasa kering.  Entah mengapa matahari bulan Ramadhan selalu terasa lebih panas dari bulan biasa.  Menunggu saat buka rasanya lamaa sekali.

Ah,  tak sabar rasanya menikmati es gandul Mas Jojo yang selalu stand by di depan langgar tiap sore hari. Apalagi uang dari Pak Miseri sudah menunggu manis dalam kantong celana kami.

Capung, sumber gambar: Tahura Bandung

“Cari capung, yuk?” kata Yayan tiba-tiba.
Kami memandang Yayan takjub. Rasa kantuk kami langsung hilang. Teman yang satu ini benar-benar tak pernah kehabisan ide dan tak kenal lelah.

Bobi langsung mengucek matanya dan menggeliat sebentar. Yap! Tanpa banyak kata kami langsung setuju dengan ajakan Yayan.

Bertiga kami mencari lidi dengan ujung diberi semacam getah sebagai perekat. Harapannya dengan lidi berperekat tersebut kaki atau sayap capung akan menempel sehingga bisa kami tangkap.

Tanpa kenal lelah kami kembali ke lapangan mengejar capung yang terbang ke sana kemari. Begitu capung menempel pada lidi, ekornya kami ikat dengan benang dan capung tetap bisa terbang, tapi tidak lepas dari tangan kami.

Akhirnya kami mendapatkan masing masing seekor capung. Tak lama ‘bergurau’ dengan binatang-binatang itu, tiba tiba terdengar azan Dhuhur berkumandang.

Kami langsung menghentikan permainan. Ya, sesibuk apapun, saat sholat kami harus segera sholat. Itu pesan orang tua kami. Kalau saat sholat tidak segera ke langgar, pasti ibuk kami akan mencari kami walau ke ujung dunia sampai ketemu.

“Ayo nang langgar..!” kataku

“Capungnya?” tanya Bobi ragu.
“Lepas saja.. kasihan,” kataku sambil melepas capungku. Masa capung mau dibawa sholat? pikirku.

Bobi segera melepas capungnya juga. Sementara urusan capung kami lupakan dan bergegas kami menuju rumah untuk mengambil sarung.

Dengan berkalung sarung kami menuju tempat wudhu. Gemericik air wudhu terasa begitu menggoda. Betapa segar, pikirku.

“Eits, gak boleh kumur..,” kata Bobi ketika aku hampir mengarahkan air ke mulutku. Ups, baru ingat. Ini puasa. Kalau berkumur di atas Dhuhur kata Mbah Hambali guru ngaji kami makruh hukumnya. Lebih baik tidak dilakukan.

Begitu qomat berbunyi aku segera mengambil tempat di belakang imam. Seperti biasa makmumnya cuma empat orang.  Mas Jojo tukang qomat,  dan kami bertiga.

Namun ada yang menarik perhatian kami hari ini.  Yang menjadi imam bukan Mbah Hambali seperti biasanya. Kali ini imam kami masih agak muda. Orangnya tinggi, berkopyah bundar putih dan bersorban..
Mungkin Mbah Hambali sedang pergi, pikirku.

“Allahu Akbar..”
Suara imam memberi tanda sholat dimulai. Tapi hei, mana Yayan? Dari tempat wudhu dia tidak juga segera sholat.

Aku segera takbiratul ihram. Berdiri tenang di belakang imam bersama Bobi dan Mas Jojo. Ketika mulai membaca Fatihah dalam hati tiba-tiba Yayan berdiri di sebelahku. Syukurlah, pikirku.

Ketika rakaat kedua tiba-tiba ada yang terbang berputar-putar di depanku. Aku mendongak.  Astaga.. capung! Pasti punya Yayan, pikirku.  Bukankah punya Bobi dan punyaku sudah dilepas?

Capung mulai berputar, hinggap kesana-kemari dengan benang masih terikat di ekornya. Sholatku mulai kacau. Mataku tak henti menatap pergerakan si capung. Dan  kurasakan Yayan di sebelahku mulai gelisah.

Saat tahiyat akhir capung melakukan manuver berani dengan hinggap di kopyah imam sholat. Astaghfirullah…!  Sholat kami batal sudah.

Aku dan Bobi menoleh ke Yayan sambil menunjuk si capung. Pelan-pelan Yayan meraih benang dan mencoba menariknya. Nakalnya, si capung tak mau menurut sehingga kopyah imam bergerak-gerak.

Kulihat Yayan begitu pucat, apalagi berbarengan dengan itu imam menoleh, mengucap salam  sambil menatap Yayan dengan tajam meski cuma sekilas.

Saat dzikir habis sholat, tubuh kami begitu gemetar. Sungguh, aku tidak pernah merasakan ketakutan seperti hari itu

Habis sholat satu per satu kami salim pada imam dengan begitu tawadhuk. Ya, itu adalah wujud permintaan maaf atas kenakalan kami.

Yayan pulang paling akhir. Temanku yang sangat pemberani itu tiba-tiba tampak lemah tak berdaya. Tangan kanannya masih erat memegang benang agar capung tidak membuat ulah lagi. Sementara di depannya imam sholat duduk tenang sambil menatap Yayan.

Mengaji, sumber gambar: Bersedekah.com

Entah bagaimana lanjutan cerita hari itu kami tak tahu. Yang jelas sejak saat itu kulihat Yayan begitu rajin mengaji di langgar.

Ya, sebuah kejutan manis bagi kami semua, ternyata imam sholat  adalah guru ngaji kami yang baru pengganti Mbah Hambali yang sudah mulai sepuh. Namanya Ustad Imam dan sangat memperhatikan Yayan.

Sekarang jangankan tidak datang mengaji, terlambat saja Yayan tidak berani.

Tentu saja. Sebagai hukuman atas masalah capung itu, Ustad Imam memberi tugas Yayan untuk qomat setiap hari sebelum sholat Ashar dimulai.

Sekian..

Salam Ramadhan 😊



Yuli Anita

Leave a Comment

Your email address will not be published.

20 views