Matematika dan Kerupuk dengan Harga Enam Juta Rupiah

Pagi itu sesudah jalan jalan pagi saya belanja ke pasar rakyat dengan anak saya. Sebelum pulang saya tiba-tiba ingat sesuatu. Keranjang belanjaan saya  berikan pada anak saya.

“Le, ke parkiran dulu, Ibuk mau beli kerupuk,” kata saya. Ya, sudah lama saya tidak menggoreng kerupuk sendiri. Sebenarnya kerupuk tiap hari ada di meja makan, tapi beli langsung matang. Kerupuk parabola istilahnya, bentuknya bundar agak besar.

Bergegas anak saya menuju parkiran sementara saya menuju toko di pojok pasar  yang menjual aneka kerupuk.

Saya memilih kerupuk bawang, warnanya putih, bentuknya bulat kecil kecil dan dikemas seperempat kiloan.

“Pinten Bu?” tanya saya sambil menunjuk kerupuk berwarna putih. Saya bolak-balik kerupuk tersebut. Ya,  ada sedikit berbeda, seperti ada “pletik-pletiknya”, pikir saya.

“Ooh, kerupuk bawang pedes niku Jeng.., enam juta saja,” kata ibuk penjual ramah. Rupanya “pletik-pletik” kecil itu cabe.

 Saya tersenyum kecil. Di antara kami, para pembeli dan penjual di pasar, khususon ibu-ibu, sering memplesetkan ribu jadi juta. Jadi enam juta berarti enam ribu. Mungkin karena belanja dengan nilai jutaan tidak mungkin akhirnya kami membuat mimpi sendiri. He…he…

“Ooh, enam juta , saya beli tiga ya, berarti delapan belas juta,” jawab  saya sambil tertawa.

Kerupuk parabola, Dokumentasi pribadi

Si Ibu tertawa senang. Mungkin karena kerupuknya saya beli, mungkin juga karena mendapat lawan guyon yang sepadan.

“Kalau emping melinjo?” tanya saya lagi sambil mengambil satu plastik emping melinjo. Beratnya saya tidak tahu.

“Ooh, niki dua puluh lima juta,” kata Ibu penjual. Kali ini dengan tawa yang lebar.

“Ah, dua puluh lima juta saja, saya beli satu,” jawab saya dengan gaya ‘sok’.

Seorang pembeli yang juga ibu- ibu, yang sejak tadi ikut mendengar diskusi kami langsung tertawa.

Sumber gambar: Antara News

“Ha..ha… mendah nggih Jeng, dua puluh lima juta niku sak pinten artone,” katanya yang disambung dengan tawa kami bertiga.

Sesudah mendapatkan empat plastik kerupuk saya masih menambah dengan terasi, kopi, bumbu masak dan kecap.

Sampun, Bu?” tanya Ibu penjual

Sampun,”

Sambil mengecek barang sekaligus menghitung, belanjaan saya dimasukkan satu persatu ke dalam kresek.

“Kerupuk tiga 18.000, tambah emping 25.000 jadi 43.000, tambah kopi…tambah kecap…tambah .. ,”

Dengan cepat Si Ibu yang jauh lebih senior dari saya ini terus menghitung dan hasil akhirnya tujuh puluh tiga ribu rupiah (bukan 73 juta). Bukan main, sudah cepat, tepat pula.

“Wah, joss kalkulatornya,” kata saya kagum.

Si Ibu tersenyum senang. Dengan sedikit berbisik ia berkata bangga,” Kulo rumiyin pas sekolah paling pinter itung-itungan, jare lare sakniki matematika,” 

Wah, dinten niki kulo biji seratus, Bu,” tambah saya yang disambut dengan tawa Si Ibu.

“Lho, Jeng Bu guru tah?” tanya Si Ibu ingin tahu.

Sekarang ganti saya yang berbisik.

Inggih, kulo guru matematika,”

“Oalahh,” kami tertawa panjang mengakhiri guyonan pagi itu.

Yuli Anita

Leave a Comment

Your email address will not be published.

18 views