Tempatku tuju, segala angan dan harapan
tempat ku padu, cita-cita dan impian
tempat ku pacu, setiap langkah yang berarti
tetap menyatu, dalam hasrat dan tujuanku selalu (reff. lagu Gemilang by Krakatau)
“Gemilang” adalah single yang dinyanyikan oleh grup musik Indonesia, Krakatau. Lagu ini diciptakan oleh Dwiki Dharmawan, pemain keyboard dari band tersebut. Dengan lirik oleh Mira Lesmana.
Lagu yang menceritakan kegemilangan dan memberi semangat dalam memecahkan masalah dengan jiwa remaja tersebut dirilis pada tahun 1987. Suara centil dari Trie Utami membuat lagu ini terasa sedap untuk dinikmati.
Pada tahun 2010, Andien membawakan kembali lagu “Gemilang” dengan aransemen oleh Nikita Dompas
Dari Wikipedia, lagu ini pernah mendapat ulasan positif dari Rolling Stone Indonesia yang menempatkan lagu ini sebagai peringkat ke-62 lagu berbahasa Indonesia terbaik sepanjang masa.
Rolling Stone Indonesia adalah majalah musik Indonesia yang diadopsi dari franchise terbitan Amerika Serikat.
Dalam perjalanan musiknya Krakatau memiliki dua single yaitu Gemilang dan La Samba Primadona yang keduanya dirilis tahun 1987. Dua-duanya enak dinikmati, tapi lagu “Gemilang” adalah one hit wonder membawa cerita tersendiri bagi saya.
Lagu “Gemilang” sangat terkenal di kala saya masih duduk di SMA. Hampir tiap hari kami bisa mendengar lagu ini lewat radio. Kala itu kami sering berkirim lagu lewat beberapa stasiun radio, seperti TT 77 atau KDS 8, dan “Gemilang” adalah lagu yang sering direquest.
Mendengarkan lagu ini membuat saya kembali teringat pada masa di mana kami bersemangat untuk mencari ilmu, dengan bumbu keakraban dan kekonyolan bersama teman-teman. Ya, judul syair lagu ini adalah gambaran jiwa kami yang penuh semangat untuk menuju masa depan yang lebih gemilang.
Lagu ini mengingatkan saya pada seorang sahabat, teman sekelas saat SMA. Sebuah pertemanan yang akhirnya membuat saya menjadi guru matematika. Bagaimana bisa?
Nah, begini ceritanya..
Teman saya ini sebutlah namanya Anna, orangnya ‘rame’, hampir sama dengan saya. Karena punya ‘frekuensi’ yang hampir sama, di kelas satu SMA kami langsung kenal dan akrab.
Anna punya teman yang jauh lebih banyak dari saya. Belum satu bulan di SMA, temannya sudah ada di mana-mana, termasuk di kelas lain.
Meski ‘rame’ kami punya komitmen sama yaitu tidak main- main saat pelajaran. Kami sama-sama suka IPA dan Bahasa Inggris dan olah raga. Bedanya jika saya suka fisika dan Kimia, Anna lebih suka biologi. Karenanya di kelas dua kami terpisah karena saya memilih jurusan A1 (ilmu fisika) dan Anna memilih A2 ( ilmu biologi).
Bagaimana dengan matematika? Kami bisa matematika, tapi kurang begitu suka. Mungkin karena materi kelas satu SMA hampir sama dengan SMP, jadi kurang menantang sepertinya.
Lucunya saat itu kami juga punya kakak idola yang sama. Maksudnya naksir orang yang sama, yaitu kakak kelas yang pintar berorganisasi sekaligus menonjol dalam mata pelajaran. Kalau kata kami saat itu wajahnya mirip Iwan Fals. He..he…
Tapi begitulah naksir kami tak pernah serius. Sekedar suka pokoknya.
Kakak idola kami ini ada di kelas 3 IPA 5 yang kelasnya di tingkat atas, sementara kami yang masih kelas 1 menempati kelas bawah.
Zaman itu kelas tiga masuk jam tujuh pagi, dan kelas satu masuk jam dua belas. Jadi kelasnya bergantian.
Demi bertemu idola kami ( tepatnya melihat) kami rela datang jam setengah dua belas dan pura-pura baca mading di bawah tangga untuk menunggu Sang Idola lewat.
Begitu dia lewat, kamipun saling bisik-bisik,”Itu tuh anaknya..,” Sang Idola terus berjalan. Entah tahu atau pura-pura tidak tahu dengan keributan kami. Duuh..
Jika dia sudah lewat, kami segera kembali ke kelas. Urusan selesai. Ingin kenal lebih jauh dengan Sang Idola? Tidak juga. Bahkan sampai luluspun kami tidak pernah bicara dengan idola kami itu. Ha..ha…
Karena punya koneksi dengan sekolah sebelah lumayan banyak, Anna selalu tahu sekolah sebelah mengadakan acara apa.
Ah ya, saya bersekolah di SMA Tugu. Ada tiga sekolah di situ. Dan aula yang posisinya di tengah dipakai ketiga sekolah secara bergantian.
Suatu saat terjadilah sebuah peristiwa yang membuat saya menjadi ‘pecinta’ matematika.
Ketika itu dalam sebuah jam pelajaran matematika, sesudah diterangkan kami diberi tugas oleh ibu guru kami. Lima belas soal.
Ya, guru zaman dulu kalau memberi tugas memang buanyak. Tujuannya jelas, supaya kami terbiasa mengerjakan soal dalam berbagai model.
Dalam waktu satu jam pelajaran (45 menit) seluruh soal selesai kami kerjakan. Sementara teman- teman masih sibuk berkutat dengan pekerjaan mereka.
Waduh, waktu masih kurang 45 menit lagi. Sama-sama ‘gabut’ istilah anak sekarang, Anna berbisik pada saya. “Di aula ada mode show.. , lihat yuk..,” ajaknya. Mode show adalah istilah untuk fashion kala itu.
Sejenak saya terdiam. Ada perang dalam hati saya. Perang antara bisikan syaitan dan malaikat. Bisikan syaitan mengajak saya ke aula mengikuti ajakan Anna, malaikat memaksa saya bersabar sejenak menunggu saat pembahasan soal tiba.
Saya melihat ke arah Bu Guru matematika yang sedang asyik mengerjakan sesuatu. Hati saya terus berperang. Celakanya yang menang adalah si syaitan.
” Apik ya…,” bisik saya pada Anna.
“Yo mesti ta..,” bisiknya lagi sambil tersenyum.
Anna menuliskan sesuatu di kertas lalu diberikan pada saya. Suasana kelas masih sepi, semua sibuk mengerjakan tugas.
“Aku izin ke kamar mandi, susul dalam waktu dua menit,” katanya di kertas.
Tanpa menunggu jawaban saya Anna pun izin ke kamar mandi. Dua menit berselang saya ikut-ikutan izin. Ibu guru matematika mengangguk sambil meneruskan pekerjaannya.
Jarak dari kamar mandi putri ke aula lumayan jauh. Tapi demi tekad yang membara untuk melihat mode show kami terus berjalan ke sana.
Suasana aula tampak demikian meriah. Beberapa model berjalan di panggung dengan iringan musik yang menghentak penuh semangat.
Wajah -wajah ayu tampak di mana-mana. Mereka melenggak lenggok memperagakan busana yang demikian cantik. Busana kertas. Amazing. Kertas bisa disulap menjadi baju seindah itu. Kami begitu terkesima dibuatnya. Benar kata Anna. Acaranya memang apik.
Terlalu asyik melihat peragaan busana, tak terasa sudah hampir satu jam pelajaran kami berdiri di situ.
“Ayo balik kelas.., dicari Bu guru nanti,” ajak saya panik demi melihat jam aula sudah menunjukkan pukul setengah dua, berarti sepuluh menit lagi bel istirahat berbunyi.
Anna ikut kaget. Bergegas kami kembali ke kelas. Dan alamak… Bu guru matematika sudah siap di depan pintu kelas menunggu kedatangan kami.
“Dari mana?” tanya beliau tidak ramah.
Kami menunduk. Sungguh, sebengal apapun kami tidak bisa berbohong di depan guru kami.
Dengan jujur kamipun berkata bahwa kami keterusan melihat mode show di aula.
Bu Tutik, guru kami kembali bertanya, “Pekerjaan kalian sudah selesai?”
“Sudah, Bu,” jawab kami cepat.
Bu Tutik mengangguk. Apakah jawaban tersebut membuat posisi kami jadi aman? Tidak.., karena sebagai hukumannya kami berdua harus mengerjakan ke lima belas soal di papan tulis nanti di pertemuan berikutnya.
“Kalau ada pertanyaan dari temanmu, kalian yang menjawab,” kata Bu Tutik sambil meninggalkan kami.
Saya sungguh tak menyangka itulah tonggak pertama saya mulai tekun bermatematika. Sebelumnya saya bisa matematika, tapi untuk diri saya sendiri. Tapi karena diultimatum seperti itu maka sebelum pelajaran matematika saya harus punya persiapan lebih.
Akhirnya buku pekerjaan matematika saya menjadi begitu lengkap. Saya selalu siap menerangkan sewaktu-waktu ada pertanyaan. Teman- teman yang mengalami kesulitanpun banyak yang minta diterangkan, bahkan sampai datang ke rumah.
Sebuah hukuman yang manis, hingga akhirnya selepas SMA saya kuliah di IKIP jurusan matematika.
“Kamu jadi guru matematika saja, kalau menerangkan enak,” kata teman-teman ketika kami memilih jurusan. Biyuh…
Tahun demi tahun berlalu hingga saya menjadi guru dan Anna sukses dengan bisnisnya di luar pulau. Sesekali kami bertemu saat reuni, dan beberapa kali berwhatsapp.
Beberapa tahun yang lalu ia mengirim sebuah pesan yang sangat mengejutkan.
“Cikgu, terima kasih ya, anakku sudah diajar matematika,” katanya.
Saya sedikit bingung. Ini tidak pernah ketemu ibuknya kok tiba-tiba mengatakan anaknya saya ajar?
“Anak yang mana?” tanya saya.
Sambil menyebut nama seorang siswa, Anna berkata, “Dia anakku, kemarin baru lulus dari SMP, matematikanya kamu yang ngajar, sengaja gak tak kasih tahu.. aku pingin tahu kamu ngajarnya bagaimana..ha..ha.., “
Oalah, Anna… Sungguh kamu tetap seperti yang dulu.., pikir saya gemas.
Sampai sekarang setiap kali melewati SMA Tugu, saya selalu teringat cerita masa-masa itu. Masa SMA ketika kita punya begitu banyak mimpi. Masa yang begitu lucu, konyol tapi tetap memicu kita untuk meraih masa depan yang lebih gemilang.
Tempat kutuju segala angan dan harapan…
Tempat kupacu cita-cita dan impianku…
- Latihan Soal Bangun Ruang Sisi Datar - November 19, 2024
- Bangun Ruang Sisi Datar (Kubus, Balok, Prisma dan Limas) - November 18, 2024
- Bangun Ruang Sisi Datar (Panjang Kerangka dan Luas Permukaan) - November 18, 2024