Tulisan berikut berisi cerita perjalanan eksplor sehari di Madiun. Bersama Komunitas Indonesi Colonial Heritage (IHC), kami mengunjungi PT INKA dan gedung gedung bersejarah yang ada di kota Madiun.
Cerita tentang kunjungan ke PT INKA sudah ada di tulisan sebelumnya, dan tulisan ini bercerita tentang kunjungan kami ke tiga gedung heritage yang ada di Kota Madiun.
**”
Hari itu dari PT INKA, perjalanan kami lanjutkan dengan mengunjungi tiga bangunan heritage yang letaknya tidak berjauhan yaitu Bakorwil, Gereja Santa Cornelius dan Balaikota Madiun.
Cuaca semakin panas ketika mobil kami memasuki halaman Bakorwil Madiun.

Suasana Bakorwil tampak sepi, maklumlah hari Minggu. Sama sekali tidak ada kegiatan disana, kecuali seorang bapak yang menjaga gedung dan segera membukakan pintu untuk kami.
Di depan gedung kami berhenti sambil mendengarkan penjelasan Pak Irawan leader sekaligus guide kami tentang bangunan gedung Bakorwil dan sejarahnya.
Bakorwil dinamakan juga rumah residen Madiun atau Residentshuis/ Residents woning Madioen adalah tempat tinggal para residen Madiun.
Karesidenan Madiun sendiri dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1830 berbarengan dengan keresidenan Banyumas, Bagelan, Kediri dan Ledok.
Saat itu diangkat sebagai residen Madiun yang pertama yaitu Loudewijk De Launy.
Bangunan yang berlokasi di Jalan Pahlawan No. 31 ini mempunyai kemiripan bentuk dengan Istana Merdeka Jakarta. Adapun tentang jalan Pahlawan, sebelumnya bernama Jalan Residen. Tentu saja karena di sini terdapat bangunan rumah residen
Rumah residen Madiun ini dibangun di bekas benteng pertahanan Belanda pada tahun 1831, dan sekaligus menjadi loji pertama di daerah ini.

Bangunan ini tidak memiliki pendopo tapi beranda depannya dibuat lebar dengan pilar batu tinggi besar dan berlantai marmer yang menjadi ciri khas arsitektur kalangan atas Eropa saat itu.
Gaya arsitektur ini terutama disukai oleh para pejabat-pejabat VOC yang tinggal di pinggiran kota Batavia.
Kami terus berkeliling masuk gedung. Menjelajah ruang demi ruang hingga ke mushola di bagian dalam.
Begitu masuk ruang Bakorwil, deretan kursi yang berwarna merah, juga lantai dengan motif dan warna yang senada langsung menyedot perhatian kami. Cantik.


Setelah puas berkeliling kami berfoto bersama di depan dengan gaya menteri kabinet. Aha…
Dari Bakorwil kami berjalan kaki menuju Gereja Santo Cornelius yang berada di jalan Pahlawan nomor 28 kota Madiun, tidak jauh dari Bakorwil.
Sebuah kejutan, karena kedatangan kami disambut dengan hangat oleh pengurus gereja dan dikumpulkan dalam sebuah aula. Teh, kopi dan kue yang disajikan membuat pertemuan hari itu terasa akrab.

Oleh pengurus gereja diterangkan bahwa Paroki Santo Cornelius Madiun merupakan Paroki tertua kedua di Keuskupan Surabaya setelah Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria, Kepanjen, Surabaya.
Paroki Santo Cornelius pada awalnya menjadi stasi bagian dari Paroki Ambarawa.
Pada tanggal 2 Agustus 1859, bagian tenggara stasi Semarang dipisah dan berdirilah Gereja Ambarawa, menjangkau wilayah Ambarawa, Salatiga, Solo, Madiun, Pacitan.
Pada tanggal 28 Juli 1897, Pastor Cornelis Stiphout, SJ yang sebelumnya menjabat sebagai Pastor Pembantu di Magelang di pindah ke Madiun, kemudian Madiun berubah menjadi Stasi, terpisah dari Ambarawa.
Sesudah mendengarkan paparan, kami diajak berkeliling untuk melihat benda- benda di gereja Santa Cornelius yang banyak menyimpan sejarah, seperti lonceng gereja, tempat pembabtisan, ruang pengakuan dosa, sacrarium dan berbagai tempat lain, yang hampir seluruhnya masih asli seperti bentuk semula.


Menariknya, menurut penjelasan narasumber, gereja ini sering menerima kunjungan dari sekolah, madrasah bahkan dari pondok pesantren di sekitar bahkan luar Madiun.
Dari Gereja Santa Cornelius perjalanan dilanjutkan ke Balai Kota Madiun. Jalan kaki? Ya, karena tempatnya memang tidak begitu jauh.
Kantor Balai Kota Madiun beralamat di Jalan Pahlawan No.37.

Sejarah pembangunan gedung ini diawali setelah Pemerintah Hindia-Belanda mengesahkan berdirinya Gemeente (Kota) Madiun pada 20 Juni 1918.
Perencanaan pembangunan balaikota diawali pada 10 September 1919 dan peletakan batu pertama baru bisa dilaksanakan sepuluh tahun sesudahnya yaitu pada tanggal 30 November 1929.
Pada tanggal 1 Agustus 1930 atau sehari sebelum perayaan kelahiran Ratu Suri Emma of Waldeck and Pyrmont, Gedung ini mulai diresmikan dan digunakan dengan Schotmanadalah Burgemeester pertama yang berkantor di Balai Kota.

Kami terus berkeliling. Suasana terasa adem dan asri, apalagi ketika kami duduk duduk di gazebo-gazebo yang ada di area taman dalam Balaikota. Beberapa teman masuk ke ruang-ruang, mengamati arsitektur ataupun foto foto yang ada di dinding.
Di usianya yang menginjak sembilan puluh lima lima tahun, Balai Kota Madiun ini sangat terawat dan indah.
Teman-teman ada yang masuk-masuk ruangan, mengamati foto-foto dan lukisan termasuk arsitektur gedung ini.

Menjelang Maghrib kunjungan ke Balai Kota Madiunpun selesai. Seperti biasa kami berfoto-foto dulu sebentar sebelum kembali masuk ke mobil.
“Kita ke mana?” tanya seorang peserta
“Masjid Taman, biar bisa Maghriban dan istirahat di sana ,” jawab Pak Ir.

Mobil kami terus melaju di antara ramainya lalu lintas kota Madiun.
Mobil kami meninggalkan Balai Kota, memasuki arus lalu lintas Kota Madiun yang lumayan ramai. Suara qiroah mulai terdengar di masjid atau langgar yang kami lalui.
Meskipun lelah (karena banyak jalan kaki) perjalanan ini terasa mengasyikkan.
Mengunjungi tempat-tempat heritage bukan sekedar jalan-jalan. Setiap dinding atau lorong yang kita lalui selalu memiliki banyak cerita.
Ya, sambil berjalan, kami berusaha merawat kenangan akan berbagai jejak sejarah di masa silam.
Terima kasih sudah berkenan membaca, salam jalan jalan..
- Giat Kader Pustaka Bintaraloka di Awal Tahun Pelajaran 2025/2026 - August 9, 2025
- Partisipasi SMP Negeri 3 Malang dalam Osaka Expo 2025 - August 5, 2025
- Statistika 8 (1) - August 5, 2025